”Di daerah lain masih ada pasien ikut turun tangan. Misalkan keluarga pasien perlu darah, tetapi darah yang dicari tidak tersedia, mereka dikasih surat rekomendasi untuk mencari pendonor. Di situlah bisa terjadi bisnis darah yang besar peluangnya. Kalau di Kotim mana bisa, karena saya sudah tegaskan keluarga pasien cukup tunggu pasiennya, kami yang mencari pendonornya. Kebijakan itu saya terapkan mulai saya menjabat di UDD PMI Kotim sampai sekarang,” ujarnya.
Yuendrie menegaskan, larangan memperjualbelikan darah sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah. Dalam Pasal 28 ayat 2 menyatakan, pendonor darah dilakukan secara sukarela.
Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 192 menyatakan, seseorang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dapat dikenakan sanksi pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
”Darah sama halnya dengan organ tubuh, tidak boleh diperjualbelikan. Pada dasarnya, donor darah dilakukan secara sukarela yang tujuannya untuk kemanusiaan dan bukan untuk komersil. Tetapi, di UDD PMI ada biaya yang dikenakan untuk biaya pengganti pengolahan darah (BPPD) termasuk operasionalnya, seperti penyediaan kantong darah dan pembagian darah utuh sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya. (***/ign)