HGU yang dikantongi PT BUM menjadi momok warga yang memiliki lahan di dalam areal tersebut. Selain itu, ketika adanya program PTSL, warga tidak bisa ikut karena tanah yang menjadi objek PTSL koordinatnya berada dalam HGU.
Selama ini warga tinggal dan berusaha di kebun mereka sejak turun-temurun. Mereka kerap diteror oknum pihak perusahaan saat beraktivitas. Bahkan, diancam dipidanakan di Polda Kalteng dengan dalih tuduhan menyerobot lahan dalam HGU perusahaan.
Ketakutan warga terjadi dalam kurun beberapa tahun terakhir, sehingga belum lama ini kepala desa dan tokoh masyarakat setempat melapor sampai ke Kementerian ATR BPN.
”Sampai kapan kami yang hidup jauh ada sebelum perusahaan ini tidak dibuat seperti ini di tanah leluhur kami sendiri? Warga kami ditakut-takui ketika mereka bekerja di atas kebun yang sudah dikuasai turun-temurun,” ujar masyarakat Antang Kalang, Diyu TN.
Adapun BPN Kotim menegaskan, tidak mudah mengevaluasi HGU perusahaan. Hanya ada dua skema yang ditempuh, yakni gugatan perdata di Pengadilan Negeri Sampit dan meminta tandatangan persetujuan dari Direktur PT BUM agar tanah masyarakat bisa dikeluarkan dari HGU.
Masalah Lama
Sementara itu, sengketa lahan antara PT Bangkitgita Usaha Mandiri (BUM) dengan masyarakat di Kecamatan Antang Kalang, merupakan masalah lama. Pada 2014 silam, kasus serupa terjadi lantaran tuntutan ganti rugi lahan pertanian warga diabaikan perusahaan. Hal itu berujung pembakaran kantor hingga kendaraan perusahaan oleh ratusan warga desa setempat.
”Harusnya PT BUM menjadikan masalah 2014 lalu sebagai warning untuk mereka, karena yang namanya manusia ada batas kesabarannya,” ujar Hardi P Hadi, tokoh masyarakat Desa Tumbang Kalang, Kecamatan Antang Kalang.
Hardi menuturkan, saat ini masyarakat masih bersabar. Apabila tidak ada iktikad baik dari perusahaan tersebut, mereka akan mengambil langkah dengan menurunkan massa untuk melakukan aksi.
Hardi juga mengaku kecewa tidak hanya pada perusahaan, tetapi juga pemerintah daerah yang tidak pernah mengambil sikap atas tuntutan warga.