JPU Dinilai Salah Kaprah, Terdakwa Sebut Bukan Korupsi, Hanya Perkara Pinjam Meminjam

ilustrasi sidang
Ilustrasi. (net)

PALANGKA RAYA, radarsampit.com – Dugaan korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kupedes dan Kredit Briguna di Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Yos Sudarso, dinilai bukan perkara tindak pidana korupsi. Kasus itu harusnya masuk wilayah hukum perdata, karena sifatnya pinjam meminjam.

Hal tersebut disampaikan penasihat hukum terdakwa Andrie Saputra Belano, eks Costumer Servis (CS)   BRI Unit Yos Sudarso Palangka Raya, Mahdianor. Dia keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Palangka Raya, Selasa (4/4).

Bacaan Lainnya
Pasang Iklan

”Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum memenuhi persyaratan yang dimaksud UU tersebut, baik dari segi formil maupun dari materilnya. Keterangan tentang apa yang dimaksud tentang dakwaan yang jelas, cermat, dan lengkap, apabila tidak dipenuhi, mengakibatkan batalnya surat dakwaan tersebut karena merugikan terdakwa,” kata Mahdianor.

Mahdianor melanjutkan, dakwaan JPU tidak memperhatikan kewenangan relatif pengadilan. Hal yang dilakukan terdakwa   murni wilayah hukum perdata atau pinjam meminjam antara Supriyadie dan Andrie dengan BRI. Hal tersebut telah mendapat persetujuan dari kepala unit saat itu.

Baca Juga :  Dimediasi BPN Kotim, Perkebunan Tawarkan Empat Solusi Konflik

Dia menuturkan, Supriyadie yang juga jadi terdakwa dalam perkara itu, meminjam nama kliennya dua kali untuk pengajuan pinjaman. Pinjaman pertama pada 12 Maret 2019 sebesar Rp35 juta dan kedua pada 3 Januari 2020 sebesar Rp50 juta dengan kesepakatan lisan, angsuran pinjaman akan dibayar, karena dana yang masuk dipakai seluruhnya oleh Supriyadie.

”Pinjaman pertama dilunasi dan ditutup tambah dengan pinjaman kedua dengan meninggalkan uang sejumlah Rp3 juta rupiah di rekening Andrie, namun uang yang ditinggalkan/disisakan tersebut dipinjam kembali terdakwa Supriyadie untuk keperluannya,” ujarnya.

Terkait pinjaman pegawai sebesar Rp50 juta, tambahnya, merupakan putusan kepala unit dan ada persetujuan lisan. Untuk Surat Kuasa Potong Upah, karena di dalam Surat Pernyataan Hutang (SPH) sudah tertulis nominal yang harus dibayarkan beserta kewajiban lain, serta berkas telah mendapatkan persetujuan kepala unit, maka toleransi kekurangan berkas, seperti rekomendasi atasan dan Surat Kuasa Potong Upah dinilai sebagai kebijakan kepala unit.



Pos terkait