Politikus Kotim Ini Dukung Sistem Proporsional Tertutup, Politik Uang Cederai Proporsional Terbuka

pemilu grafis 1 560x413
Ilustrasi. (jawapos.com)

SAMPIT, radarsampit.com – Pelaksanaan sistem pelaksanaan Pemilu 2024 masih jadi perdebatan. Jika sebelumnya sejumlah kalangan menolak sistem proporsional tertutup, politikus muda Kotim Gahara justru mendorong pelaksanaan proporsional tertutup dalam Pemilu 2024, karena dinilai akan menghasilkan wakil rakyat berkualitas dan jauh lebih baik.

Menurutnya, selama ini sistem proporsional terbuka selalu membuat masyarakat menjadi pragmatis. Politik uang yang menggila membuat biaya politik semakin tinggi. Kondisi demikian harus dibenahi melalui sistem proporsional tertutup.

Bacaan Lainnya

”Walaupun seekor monyet, kalau dia bawa uang banyak, maka akan terpilih jadi anggota dewan. Itulah salah satu ungkapan yang selalu saya dengar usai pemilihan legislatif. Para pemilih tradisional yang masih dominan di masyarakat kita lebih memilih calon berduit ketimbang kualitas calon. Partai politik pun berlomba merekrut caleg yang memiliki uang, kualitas menjadi nomor sekian. Hal itu wajar, karena sistem proporsional terbuka mengharuskan demikian,” kata politikus PDI Perjuangan Kotim ini.

Baca Juga :  Kampanye di Tegal, Amin Baswedan Janji Berantas Mafia Pupuk

Dia mengungkapkan, dalam sistem proporsional terbuka, persaingan internal sesama caleg di satu partai tak terelakkan. Gesekan dianggap biasa. Alhasil, kualitas produk pemilihan patut dipertanyakan.

”Jadi, jangan heran ketika dilantik banyak anggota dewan hasil pilihan masyarakat banyak yang tidak tahu tugas dan fungsinya. Boro-boro bisa membuat produk hukum, hal yang sangat basic pun kadang tidak tahu sama sekali,” katanya.

Alhasil, kata Gahara, bisa dilihat di lembaga DPRD Kotim saat ini. Banyak kegiatan kunjungan kerja hingga bimtek. Dalam satu sampai dua tahun setelah dilantik pun masih ada yang belum paham tugas pokok dan fungsinya. Akibatnya, kualitas wakil rakyat semakin menurun dan tidak salah jika dipandang sebelah mata oleh eksekutif.

”Satu sampai dua tahun dulu belajar, sering-sering studi banding, sehingga uang negara tidak efektif digunakan. Bahkan, saya berani bertaruh, ada anggota dewan sampai berakhir masa tugasnya belum bisa bikin perda,” katanya.



Pos terkait