GELAR AKSI: Koalisi Organisasi Masyarakat Dayak Kalteng melakukan unjuk rasa menolak keberadaan TBBR atau Pasukan Merah di Bumi Tambun Bungai, Jumat (26/11). (DODI/RADAR SAMPIT)

Tokoh Dayak Berpengaruh Ini Akhirnya Bicara Polemik Pasukan Merah

PALANGKA RAYA , RadarSampit.com– Konflik antara Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) atau Pasukan Merah dengan sejumlah organisasi masyarakat di Kalimantan Tengah jangan sampai membuat malu Suku Dayak. Semua pihak yang berpolemik diminta bisa menahan diri dan menyelesaikan masalah itu secara damai melalui jalur adat.

”Saya meminta mereka bisa menahan diri, tidak saling lapor polisi, tidak melakukan langkah-langkah frontal yang bikin malu Dayak di mata Indonesia, apalagi dunia,” kata Damang Pahandut Marcos Tuwan, Kamis (2/12).

Tokoh adat berpengaruh yang kerap bersuara lantang, terutama di media sosial ini mengaku prihatin dengan polemik tersebut dan menyarankan pihak berkonflik melakukan musyawarah dan menyelesaikan hal tersebut sesuai falsafah huma betang.

”Saya lebih sedih lagi mereka yang berpolemik itu membawa nama Dayak. Harusnya mereka meminta untuk menyelesaikan dan saling berkomunikasi agar bisa diselesaikan,” ujarnya.

Menurut Marcos, dalam masyarakat Dayak ada lembaga hukum adat. Jalur penyelesaian melalui lembaga adat bisa diambil, bukan dengan saling lapor di kepolisian. Di sisi lain, dalam polemik tersebut diduga ada banyak kepentingan. ”Istilahnya, bajunya adat tetapi tidak tahu komitmennya,” imbuhnya.

Tokoh Adat  Dayak di Palangka Raya Mambang Tubil mengatakan, polemik tersebut menjadi tugas tokoh maupun lembaga adat, seperti Dewan Adat Dayak (DAD) untuk mencarikan solusi dan mengajak pihak berpolemik untuk bermusyawarah.

”Permasalahan itu bisa diselesaikan. DAD bisa memfasilitasi sebagai lembaga pemersatu,” katanya.

Mambang menjelaskan, DAD akan menjadi wadah pemersatu melalui mediasi antarormas agar bisa rukun dengan berpegang pada filosofi huma betang dan hidup sesuai adat.

”Akan diupayakan secepatnya dimusyawarahkan. Nanti kami juga memastikan ormas terkait agar menjunjung tinggi falsafah huma betang. Jangan sampai terjadi konflik. Apalagi sama-sama menjaga adat Dayak,” ujarnya.

Mambang juga berharap semua pihak bisa menahan diri. Sebab, mereka yang berkonflik merupakan aset penting untuk menjunjung tinggi budaya Dayak, sehingga perlu dibina, dijaga, dan didorong agar taat dan patuh sesuai aturan.

”Saya menilai akar persoalan itu memang ada kepentingan kelompok yang seharusnya tidak terjadi dan itu bisa dikomunikasikan bersama, sehingga bisa terselesaikan. Maka itu, semua harus bisa mengedukasi prinsip dalam tataran adat,” katanya.

Menurut Mambang, sebenarnya tidak boleh sembarangan menyuarakan hal-hal terkait adat, namun tidak sesuai dengan aturan adat. Terkait penyelesaian secara adat bisa dilakukan Damang. ”Jangan sampai malah orang luar yang menyelesaikannya. Duduk bersama di rumah betang dan taati hukum adat,” tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, keberadaan TBBR di Kalteng memicu protes sejumlah organisasi masyarakat. Ormas yang dikenal dengan sebutan Pasukan Merah itu dinilai meresahkan dan arogan. Ratusan warga dari sejumlah ormas yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Masyarakat Dayak Kalteng meminta agar Pasukan Merah dibubarkan.

Desakan pembubaran Pasukan Merah tersebut disampaikan dalam aksi yang digelar di di Bundaran Besar Palangka Raya dan Rumah Betang Hapakat, Jumat (26/11). Unjuk rasa tersebut dijaga ketat ratusan personel kepolisian.

Dalam orasinya, Pasukan Merah dinilai tidak menghargai kearifan lokal dengan melakukan acara ritual seenaknya. Selain itu, ormas tersebut dianggap mengganggu keamanan masyarakat, karena menghadirkan massa dalam jumlah besar saat melakukan aksi, serta membawa senjata khas Kalteng; mandau, secara terhunus.

Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah didesak mengambil sikap dengan menjatuhkan sanksi adat terhadap TBBR. Mereka juga tidak mengakui Panglima Jilah sebagai Panglima Setanah Dayak Borneo, karena bukan representasi Suku Dayak Kalteng.

Merespons hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah TBBR Kalteng Agus Sanang mengatakan, penolakan dan desakan agar membubarkan Pasukan Merah telah melanggar undang-undang.

”Kelompok maupun individu yang melakukan aksi dengan tujuan membubarkan TBBR, hal itu melanggar UU tentang Hak Kebebasan Berkumpul dan Berserikat. Jika demikian, maka aksi tersebut telah melanggar konstitusi dan telah melecehkan Pancasila sebagai Dasar Negara serta UUD 1945,” ujar Agus. (daq/ign)