SAMPIT, radarsampit.com – Di tengah gemerlap modernisasi Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), terdapat bangunan yang menjadi saksi bisu dari sejarah panjang keberadaan warga Tionghoa di Borneo.
Kelenteng Kong Miao Litang yang terletak di Jalan MT Haryono, bukan hanya tempat ibadah bagi umat Konghucu, tetapi juga merupakan penanda bagaimana budaya dan agama Konghucu berkembang di tengah keberagaman masyarakat Kotim.
Wenshi Suhardi, tokoh agama Konghucu di Kotim, mengungkapkan bahwa sejarah kebudayaan Tionghoa di Kotim sudah ada sejak zaman dahulu. “Berdasarkan catatan sejarah, warga Tionghoa sudah ada di Pulau Borneo ini sejak sebelum Indonesia merdeka,” ujarnya.
Menurut Wenshi, kedatangan orang Tionghoa ke Borneo, khususnya suku Han, dimulai sejak zaman kuno, bahkan sebelum penjajahan Belanda. Para pendatang ini bukan hanya mencari kehidupan baru, tetapi juga membawa warisan budaya dan agama mereka, termasuk Konghucu, yang kini menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di Kotim.
Kedatangan orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda memiliki peran strategis dalam membantu kepentingan penjajah. “Orang Tionghoa saat itu menjadi mediator antara penjajah dan suku-suku lokal. Mereka yang sudah lebih dulu terasimilasi dengan masyarakat setempat menjadi penghubung yang penting,” kata Wenshi.
Namun, perjalanan agama Konghucu di Kotim tidak selalu mulus. Pada awalnya, umat Konghucu di Kotim beribadah bersama umat Buddha di Tridarma. Namun, dengan berkembangnya jumlah umat Konghucu yang mencapai ribuan orang, ibadah bersama ini mulai terasa sempit.
“Tempat ibadah yang ada tidak lagi bisa menampung umat Konghucu yang terus berkembang,” sebutnya.
Menghadapi masalah tersebut, almarhum Hadi Siswanto, seorang tokoh penting dalam sejarah agama Konghucu di Kotim, mengambil inisiatif untuk mendirikan Kelenteng Kong Miao Litang pada tahun 2000.
“Melihat kebutuhan besar umat Konghucu akan tempat ibadah yang lebih layak. Maka, beliau menghibahkan tanah dan mendirikan kelenteng ini,” jelas Wenshi.