RadarSampit.com – Dewan Pers menyatakan terus mencermati proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli menyatakan pihaknya sudah menyampaikan delapan poin keberatan pada September 2019 terkait pembahasan RKUHP kepada Ketua DPR RI Puan Maharani.
Keberatan yang disampaikan Dewan Pers kepada DPR RI tidak diindahkan. Padahal, salah satu fungsi Dewan Pers sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, sehingga memberikan pandangan terhadap proses pembahasan dan beberapa ketentuan dalam RUU KUHP.
“Dewan Pers menekankan karya jurnalistik bukan kejahatan yang bisa dipidanakan. Pelanggaran terhadap etika jurnalistik harus diselesaikan terlebih dahulu melalui prosedur dan mekanisme diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” kata Arif dalam keterangannya, Jumat (15/7).
Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan. Karena itu, Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal yang menjadi keberatan dihapus, karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik, dan bertentangan dengan UU Pers.
“RUU KUHP tersebut juga memuat sejumlah pasal yang multitafsir, memuat pasal karet, serta tumpang tindih dengan undang-undang yang ada,” sesal Arif.
RUU KUHP mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Pasal-pasal tersebut di antaranya, Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. Kemudian, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.