SAMPIT – Kawasan yang diklaim sebagai hutan di Desa Ayawan, Kabupaten Seruyan, ternyata merupakan areal kebun sawit dan karet warga. Lahan itu sudah dikuasai masyarakat setempat secara turun-temurun, dikelola, dan telah ditanami berbagai tumbuhan.
Hal tersebut terungkap dalam pemeriksaan lokasi sebagai lanjutan sidang perdata yang diajukan petani sawit Desa Ayawan, M Abdul Fatah, kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya, Senin (28/6).
Lahan milik Abdul Fatah yang dipersoalkan, merupakan areal kebun sawit. Hal itu sekaligus mengonfirmasi fakta persidangan sebelumnya, yakni tanaman sawit Abdul Fatah ditanam untuk mengganti sawit yang sudah tidak produktif dari pemilik lahan sebelumnya, Abdul Hadi.
Dalam pemeriksaan setempat, masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan objek. ”Kami berikan kesempatan terlebih dahulu kepada penggugat untuk menunjukkan batas-batasnya. Di mana saja,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit yang diketuai Darminto Hutasoit.
Pihak Abdul Fatah berserta pemilik tanah asal, Abdul Hadi, dan keluarga, lalu menunjukkan titik lokasi dan batas tanah mereka dengan luasan sekitar 12 hektare. ”Secara keseluruhan, yang kami ukur tadi 12 hektare, yang masuk dalam enam surat yang dikuasai Abdul Fatah,” kata Rendra Ardiansyah, kuasa hukum penggugat.
Menurut Rendra, pihaknya juga telah menunjukkan objek batas-batasan lahan. ”Sangat jelas dari batas itu ada pemiliknya. Milik perorangan, bukan perusahaan,” tegasnya.
Rendra optimistis gugatan mereka dikabulkan, karena lahan itu jelas milik kliennya bersama masyarakat setempat. Dengan demikian, SK Menhut Nomor 529 tentang Peta Kawasan Hutan yang jadi dasar Gakkum KLHK menindak Abdul Fatah, merupakan peta penunjukan, bukan penetapan. Hal itu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam kesempatan itu juga hadir sejumlah masyarakat yang tanahnya berbatasan dengan tanah Abdul Fatah dan warga pemilik tanah di sekitar objek tersebut. ”Ini tanah masyarakat semua. Tidak ada di sini tanah perusahaan HTI (hutan tanaman industri) seperti disebutkan,” tegas Abdul Hadi.