SAMPIT – Sengketa pertanahan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) disinyalir tak lepas dari peran mafia tanah. Saking kuatnya jaringan mafia itu, lembaga negara bisa dimanfaatkan untuk menguasai lahan guna mengeruk keuntungan besar.
Hal tersebut disampaikan Labih Marat Binti, kuasa hukum Yuspiansyah, warga Kotim yang tengah memperjuangkan haknya atas tanah warisan orang tua. Objek sengketa itu berada di Jalan Pramuka, Sampit. Tanahnya tiba-tiba diklaim DS, warga yang tinggal di Palangka Raya.
”Mafia tanah memang mengerikan. Mereka tidak hanya sendiri, tetapi punya jaringan di berbagai sektor,” kata Labih, Kamis (26/8).
Labih menuturkan, sengketa yang terjadi kepada kliennya tidak lepas dari mafia pertanahan yang diduga melibatkan oknum di lembaga peradilan. Kasus sengketa yang harusnya diadili melalui peradilan umum, bisa diputuskan PTTUN Jakarta. Parahnya, dikuatkan lagi Mahkamah Agung. Karena itu, Labih berjanji akan membongkar sindikat mafia tanah di Kotim yang selama ini selalu meresahkan.
Labih mengaku kaget ketika mendapat surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim tertanggal 13 Juli 2021 yang membatalkan sertifikat milik kliennya dengan dasar sudah berkekuatan hukum tetap. Karena itu, dia berencana mengajukan gugatan kembali terhadap rencana eksekusi tersebut melalui PTUN Palangka Raya. Selain itu, juga menggugat kepemilikan lahan melalui Pengadilan Negeri Sampit.
Pihaknya keberatan dengan surat tersebut. Apalagi ada yurisprudensi yang menyatakan BPN tidak bisa melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak apabila objek itu masih dalam sengketa yang berproses di pengadilan negeri setempat.
”Ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Pasal 45, di mana Kepala BPN harus menolak peralihan dan pembebanan hak tersebut,” tegas Labih Binti.
Labih mengatakan, munculnya surat BPN itu bermuara dari putusan PTTUN Jakarta yang memenangkan DS melawan dari kliennya. Awalnya DS mengajukan gugatan di PTUN Palangka Raya, namun ditolak karena gugatan merupakan kewenangan peradilan umum.