Sikat Sindikat Mafia Pertanahan untuk Redam Konflik Masa Depan

mafia tanah
ilustrasi

SAMPIT, radarsampit.com– Konflik lahan antara masyarakat dengan investor di Kabupaten Kotawaringin Timur rentan memancing pertikaian dan ketidakstabilan kondusifitas daerah. Karena itu, bara konflik sebaiknya tak terus dibiarkan, namun harus diredam agar tak semakin banyak pihak yang dirugikan.

Praktisi Hukum di Kota Sampit Agung Adisetiyono mengatakan, salah satu contoh persoalan terkini konflik lahan, yakni dugaan perampasan tanah atau kebun masyarakat di irigasi Danau Lentang, Desa Luwuk Bunter. Masalah itu bisa jadi momentum mencegah dan meredam konflik besar di kemudian hari.

Bacaan Lainnya

”Saya menyarankan agar kasus itu segera ditangani dan diambil alih pemerintah daerah dengan mencari di mana titik persoalannya. Di satu sisi perusahaan terus menggarap karena merasa sudah membayar, di sisi lain masyarakat pemilik lahan tidak pernah menerima ganti rugi. Artinya, ada pihak ketiga yang mendapatkan keuntungan di balik konflik itu,” tegas Agung, Rabu (6/9/2023).

Baca Juga :  Ngaku Kebelet BAB, Ternyata Melahirkan Bayi

Agung menuturkan, dugaan masyarakat adanya sindikat mafia yang menjual tanah warga tentunya bisa saja terjadi. Sebab, mafia tanah sejatinya tidak bisa dilakukan secara individual, tetapi melibatkan oknum pejabat desa hingga pemerintahan.

”Saya kira pintu masuk itu memang harus penegak hukum memproses, kenapa bisa demikian? Bagaimana bisa ada penggarapan lahan di kebun masyarakat? Kebanyakan kasus lahan di Kotim awalnya karena dijual oknum tertentu dan bekerja sama dengan oknum perusahaan juga,” tegas Agung.

Seharusnya, kata dia, proses pembebasan lahan harus melibatkan pihak terkait, terutama pemerintah desa. Tak mungkin kepala desa tidak mengetahui lahan itu merupakan kebun milik warganya sendiri.

Agung mendorong masyarakat berani melaporkan persoalan tersebut melalui jalur hukum pidana. Apalagi mereka saat ini memiliki tanam tumbuh di atasnya, sehingga hal itu merupakan bukti bahwa mereka menguasai, mengelola, hingga menduduki lahan tersebut secara terus menerus dan berkelanjutan.

”Harus didorong untuk dibawa ke ranah hukum saja masalahnya. Kalaupun masyarakat takut, bisa menggandeng ormas yang konsen terhadap hak-hak masyarakat lokal,” ujarnya.



Pos terkait