Terlalu Tinggi, Kenaikan UMK Kotim 2023 Dinilai Beratkan Dunia Usaha

rapat umk kotim
USULAN PENETAPAN: Rapat dewan pengupahan terkait pembahasan usulan penetapan UMK Kotim 2023 yang berlangsung di Hotel Vivo Sampit, Kamis (1/12). (HENY/ RADAR SAMPIT)

SAMPIT, radarsampit.com Kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2023 di Kabupaten Kotawaringin Timur yang menggunakan rumus penghitungan sesuai Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 dikhawatirkan akan memberatkan dunia usaha.

Hal itulah yang memicu penolakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang memilih tidak hadir dan secara tidak langsung menolak menandatangani UMK 2023 di Kotim yang ditetapkan sebesar 8,33 persen atau senilai Rp 251.127 dari Rp 3.014.732 ditahun 2022 naik menjadi Rp 3.265.859 ditahun 2023.

Bacaan Lainnya

Kenaikan yang berkali lipat dibandingkan UMK tahun 2022 dikhawatirkan memberatkan pengusaha. Pasalnya, jika dibandingkan hasil rapat dewan pengupahan di Kotim yang dilaksanakan 23 November 2021 lalu, UMK tahun 2022 hanya naik tipis 0,99 persen atau Rp 22.786 menjadi Rp 3.014.732  dibandingkan 2021 lalu.

Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Kotim Susilo mengatakan, Disnakertrans Kotim sejatinya perlu mengundang atau melibatkan Kadin untuk menyampaikan pendapatnya.

Baca Juga :  Begini Respons Publik Kalteng Sikapi Konflik Pasukan Merah vs Sejumlah Ormas

”Sangat disayangkan selama ini Disnakertras Kotim tidak pernah mengundang dan tidak pernah melibatkan Kadin dalam pembahasan UMK. Perlu diketahui, Apindo sudah tidak mengurusi upah. Tugas Apindo sudah dicabut dan sekarang surat keputusan itu dipegang Kadin,” kata Susilo, Minggu (4/12).

Menurut Susilo, penolakan Apindo tak menjadi masalah, karena sudah dicabut kewenangannya untuk memberikan pendapatan dari Kemenaker dan diserahkan ke kadin.

”Apindo yang tidak sepakat memang betul kata Pak Kadisnakertrasns Kotim tidak menjadi masalah, karena Apindo sudah dicabut tugasnya dari Kemenaker dan diserahkan ke Kadin. Namun, ini yang perlu disosialisasikan,” jelasnya.

Menanggapi penggunaaan rumus penghitungan sesuai Permenaker 18 Tahun 2022, Susilo mengatakan, dapat menimbulkan tidak adanya kepastian hukum.

”Permenaker 18 tahun 2022 itu menimbulkan tidak adanya kepastian hukum. Kalau Upah itu memang memberatkan dunia usaha, maka harusnya dicari jalan keluarnya dalam pembahasan dan masukan dengan mempertimbangkan banyak aspek. Percuma saja diadakan pembahasan berjam-jam, tetapi seolah memaksa yang hadir untuk tetap menggunakan Permenaker 18 Tahun 2022 tanpa mempertimbangkan dan mencari jalan keluar yang dapat menjaga stabilitas ekonomi dan investor tetap dapat menjalankan usahanya,” katanya. (hgn/ign)



Pos terkait