AWAS!!! Lirikan, Kerlingan, dan Siulan Bisa Dipidanakan

pelecehan seksual
UU TPKS: Wakapolres Lamandau Kompol Novalina Tarihoran saat mensosialisasikan UU TPKS dihadapan para tokoh agama,t okoh masyarakat, organisasi wanita dan kepala sekolah. (Ria Mekar/Radar Pangkalan Bun)

NANGA BULIK, radarsampit.com – Para pria mata keranjang kini harus berhati-hati dalam bertindak. Pasalnya dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 12 April lalu ada beberapa kebiasaan buruk yang awalnya dianggap biasa kini yang bisa dipidanakan bila korbannya tidak terima dan melapor.

Hal ini seperti disampaikan Wakapolres Lamandau, Kompol Novalina Tarihoran saat sosialisasi undang-undang tersebut di Aula Setda Lamandau pada Rabu (9/11) kemarin.

Setidaknya ada sembilan jenis TPKS, yakni pelecehan seksual non fisik, pelecehan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu yang juga termasuk dalam TPKS lainnya adalah pemerkosaan, cabul, persetubuhan terhadap anak, pornografi, pemaksaan pelacuran dan lain-lain.

Pelecehan seksual non fisik disebutkan bahwa setiap orang atau korporasi yang melakukan perbuatan seksual non fisik berupa isyarat (lirikan, kerlingan, membuat tanda dengan bahasa tubuh, siulan, tulisan dan atau perkataan guyonan atau godaan seksual) kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual dan atau organ reproduksi, dapat dijerat dengan UU TPKS ini. 

“Yaitu dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaannya. Sehingga orang yang dilecehkan non fisik (korban) harus merasa bahwa harkat dan martabatnya direndahkan,” tutur Novalina.

Baca Juga :  Bikin Pernyataan di Media Massa, Wakil Rakyat Diperiksa Polisi, Kebebasan Berpendapat Terancam

Tak tanggung-tanggung pelakunya bisa dipidana penjara paling lama 9 bulan dan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta dan atau tindakan rehabilitasi.

“Yang perlu diingat adalah perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian diluar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak,” tegasnya.

Sementara itu, salah satu peserta sosialisasi, Anggreany yang merupakan Ketua Forum Puspa Kabupaten Lamandau berharap UU TPKS ini dapat lebih melindungi harkat dan martabat perempuan. Karena selama ini banyak perempuan menjadi korban pelecehan seksual karena ketidakberdayaan dan ketidaktahuannya.



Pos terkait