Putusan MKMK Dinilai Kompromi, Hanya Diberhentikan sebagai Ketua, Anwar Usman Tetap Hakim MK

sidang etik MK
PUTUSAN: Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) menyerahkan hasil putusan kepada perwakilan pelapor usai sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim MK, Selasa (7/11/2023). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

JAKARTA, radarsampit.com – Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dinilai berwajah dua. Dalam satu sisi putusan itu fungsional alias bisa dijalankan, namun juga dianggap berkompromi.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti menuturkan, putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, namun masih menjadi hakim MK itu memang pilihan terbaik. Sebab, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang ada semacam kekosongan hukum.

Bacaan Lainnya

“Kalau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi seharusnya ada MKMK banding. Tapi, ini tidak ada, sehingga tidak bisa melakukan pembelaan diri,” paparnya.

Namun begitu, putusan tersebut terlihat sangat berkompromi. Sebab, sesuai PMK sanksi itu hanya ada terguran lisan, tertulis dan PTDH. “Tidak ada itu pemberhentian sebagai Ketua MK, hanya ada PTDH sebagai Hakim Konstitusi,” jelasnya.

Baca Juga :  Inkonstitusional, Pemerintah Sebut Peraturan Turunan UU Cipta Kerja Tetap Berlaku, Kok Bisa?

Karena itu, lanjutnya, seharusnya dissenting opinion dari Hakim Bintan Saragih itu juga menjadi putusan dari MKMK. Dia mengatakan, bagaimana bisa MKMK menyatakan pelanggaran berat terjadi. Tapi, tetap dipertahankan sebagai hakim konstitusi. “Ini mungkin karena Prof Jimly menyebut soal ketenangan dan kepastian hukum,” paparnya.

Di sisi lain, yang juga menjadi tanda tanya adalah MKMK mengesampingkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. “Kami tadi tunggu apa alasan mengesampingkan itu, tapi ternyata tidak ada alasan untuk mengesampingkannya,” jelasnya di luar ruang sidang MK kemarin.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona menemukan kesamaan soal mengesampingkan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. “Ini aneh, dikesampingkan tapi tidak jelas alasannya,” paparnya.

Menurutnya, seharusnya pasal 17 Ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman itu menjadi terobosan hukum dalam menyatakan sah tidaknya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab, pintu masuknya adalah pelanggaran kode etik. Namun, dalam UU tersebut tidak menyebutkan siapa yang berwenang menyatakan sah tidaknya putusan. “Tapi, itu tidak digunakan oleh MKMK,” urainya.



Pos terkait