PALANGKA RAYA, radarsampit.com – Kasus tindak pidana korupsi di tubuh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) akan berlanjut ke Pengadilan Tinggi. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding lantaran hukuman terhadap Ketua KONI Kotim Ahyar dan Bendahara KONI Kotim Bani Purwoko jauh lebih rendah dibanding tuntutan JPU.
Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa dengan tuntutan sembilan tahun penjara. JPU menilai terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi demi memperkaya diri sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Khusus untuk H. Ahyar, jaksa menuntut tambahan pembayaran uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 10,38 miliar. Jika tidak dibayar, Ahyar terancam pidana tambahan empat tahun tiga bulan penjara.
Sementara itu Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya telah memvonis Ahyar dengan pindana dua tahun penjara, denda 50 juta subsider 3 bulan, uang pengganti Rp 1,2 miliar dikurang 400 juta. Sedangkan Bani Purwoko divonis satu tahun, denda 50 juta dan subsider tiga bulan penjara.
“Saya sudah instruksikan untuk melakukan banding pada kasus tersebut. Karena jauh dari tuntutan yang sudah diajukan, sembilan tahun. Saya sudah dapat laporan dari Aspidsus dan JPU, ” tegas Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah Undang Mugopal didampingi Wahyudi Eko Husodo selaku Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Kalteng, Selasa (24/12/2024).
Undang Mugopal menekankan, tuntutan yang disampaikan selama sembilan tahun itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan,salah satunya kerugian negara cukup besar kurang lebih Rp 10 miliar. Terlebih kerugian itu belum ada pengembalian dari keduanya, baik Ahyar maupun Bani. ”Itu menjadi pertimbangan kita dalam menuntut, jadi tidak sembarangan,” tegasnya.
Terkait vonis yang berbeda, Undang Mugopal engga masuk ke ranah tersebut. Dia menilai ada kemungkinan pandangan berbeda antara analisa Jaksa Penuntut Umum dengan Majelis Hakim.Meskipun hal tersebut adalah hal biasa dalam perkara korupsi.