Sementara ini, demplot yang dibuat seluas lima hektare dan akan dikelola sepuluh keluarga terlebih dahulu. Selanjutnya mereka akan melihat perkembangannya. Karena Padi Tampuy yang ditanam tersebut menurut informasi bisa bertahan di bermacam jenis tanah.
Lahan yang dijadikan pilot project ini merupakan kawasan hutan adat komunitas yang secara adat menjadi penopang penghidupan warga setempat. Dari sana mengalir Sungai Batu yang juga sumber air bersih masyarakat. Kawasan hutan tersisa seluas sekitar 300 hektare itulah yang kini coba dipertahankan Komunitas Adat Sungai Batu.
Mereka berharap kawasan ini nantinya bisa diakui pemerintah sebagai hutan adat mereka. “Sebagian kawasan ini telah mengalami degradasi. Di lahan terdegradasi inilah, mereka mencoba memanfaatkan menjadi lahan produktif, sekaligus mencegahnya dari bahaya kebakaran di musim kemarau,” tutur Dani.
“Ini menjaga kedaulatan pangan. Sejalan dengan program pemerintah, membantu pemerintah,” jelas Mardani lagi.
Bila uji coba ini berhasil, Mardani berharap ke depan kawasan ini bisa diolah sebagai kawasan wisata berbasis komunitas adat dengan segala kearifan lokal yang menjadi keunikan sediri dan ini bisa menjadi destinasi wisata baru di Desa Kubu. Selama ini Kubu lebih dikenal sebagai destinasi wisata bahari. Tapi, uniknya, desa ini juga memiliki sisa hutan dan tradisi berladang. “Jadi ladang itu berbasis wisata komunitas adat,” ucapnya.
Camat Kumai, Abdul Gofur yang hadir dalam penanaman perdana itu mengakui mendukung program ini. Menurutnya dahulu Kumai memiliki desa-desa lumbung padi lokal dan upaya ini harus dipertahankan dan didukung. Dia menyebut tanaman pangan lokal perlu dikembangkan serius. “Janganlah semua lahan dijadikan kebun monokultur semua demi keseimbangan ekosistem,” harapnya.
Senada disampaikan Anto Setiawan, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kotawaringin Barat. “Kami dan instansi terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup, siap bekerja sama dengan Komunitas Adat Sungai Batu,” katanya. (*/sla)