Urat batu dan fosil kerang jadi pegangan para penggali dalam menentukan apakah pencarian fosil hiu purba di perbukitan Surade, Sukabumi, dilanjut atau tidak. Di masa keemasan, menemukan gigi dengan panjang 10 sentimeter ke atas bukan hal sulit.
EDI SUSILO, Sukabumi | radarsampit.com
RERUNTUHAN batu sebesar kepala manusia itu berwarna cokelat kekuningan. Berserakan di bawah galian tanah sedalam 3 meter, di tepian jalan lintas Sukabumi–Cianjur, Jawa Barat.
Di atas reruntuhan batu, selembar terpal biru terbentang, diikat di antara batang pohon, membentuk sebuah tenda.
”Galian ini sepertinya sudah selesai. Ayo kita ke sana, turun ke bawah,” ucap Obot, nama panggilan, yang memandu Jawa Pos mencari para penggali fosil yang masih bekerja Kamis (1/2/2024) pekan lalu di kawasan Surade, sebuah kecamatan di Sukabumi.
Dari ibu-ibu yang sedang menanam padi, kami diberi petunjuk menuju sebuah bukit.
Benar saja, di atas sana, di bawah rindang pohon bambu, tampak empat pekerja sedang mengaso. Sebuah genset diesel, sekop, ember, dan troli dibiarkan tergeletak.
Sambil menyeruput kopi, mereka berbincang mengenai prediksi peruntungan. Bahwa di dalam sana, di lubang yang mereka gali, terserak aneka gigi megalodon.
Megalodon (Otodus megalodon) yang berarti ”gigi besar” adalah spesies hiu purba yang sudah punah. Hiu ini diperkirakan hidup 23 hingga 2,6 juta tahun yang lalu pada zaman Miosen Awal hingga Pliosen Akhir. Para ilmuwan menduga megalodon terlihat seperti hiu putih yang lebih kekar walaupun hiu ini juga mungkin tampak seperti hiu raksasa (Cetorhinus maximus) atau hiu harimau pasir (Carcharias taurus).
Daratan Pajampangan yang kini berbukit-bukit di wilayah Surade dulu merupakan lautan atau dikenal sebagai laut purba Jampang pada era Miosen yang kaya keanekaragaman biota laut. Salah satunya megalodon.
Dengan panjang mencapai 16–18 meter dan berat mencapai 70 ribu kilogram, megalodon saat itu duduk sebagai puncak rantai makanan. Meski berkuasa di lautan, berbagai perubahan bumi mengakibatkan meluasnya gletser di wilayah kutub.