Memasuki triwulan kedua 2020, seiring merebaknya penyebaran virus Corona ke berbagai negara termasuk Indonesia, banyak ekonom serta praktisi keuangan memberikan kiat-kiat untuk bertahan menghadapi pandemi ini (salah satunya dengan cara berinvestasi). Berbagai produk investasi ditawarkan, mulai dari produk perbankan seperti deposito hingga aktivitas di pasar modal.
Salah satu instrumen investasi yang cukup diminati saat ini adalah reksadana. Lalu, apa itu reksadana? Berdasarkan makna kata, reksa artinya pelindung dan dana artinya adalah uang. Menurut undang-undang Pasar Modal No 8 tahun 1995 pasal 1 ayat 27, reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal yang selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manager Investasi (MI) yang sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Investor-investor tersebut dapat berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang tersedia di pasar modal dengan cara membeli unit penyertaan reksadana. Dana yang terkumpul ini kemudian dikelola dalam instrumen seperti saham, obligasi, pasar uang atau campuran dari ketiganya.
Dari pengertian ini, sangat jelas reksadana adalah investasi yang berbeda dengan saham. Selama penulis berkecimpung dalam dunia perbankan dan investasi, kebanyakan orang menganggap reksadana sama seperti saham yang nilainya fluktuatif sehingga akan mempengaruhi nilai pokok uang. Setiap mendengar kata reksadana, calon investor akan memikirkan nilai pokok uang yang akan berkurang saat jatuh tempo atau bila dana investasinya dicairkan secara tiba-tiba.
Apakah Reksadana Terproteksi Itu?
Bila sebelumnya penulis menjelaskan bahwa reksadana terbagi menjadi empat jenis dan tidak ada reksadana terproteksi di salah satunya, lalu apa sebenarnya reksadana terproteksi itu? Reksadana terproteksi atau yang dalam dunia ekonomi-investasi juga sering disebut dengan Capital Protected Fund (CPF) adalah reksadana yang memberikan proteksi atas nilai investasi awal, apabila pemegang unit penyertaan memegang reksadana tersebut hingga tanggal jatuh tempo melalui mekanisme pengelolaan portofolio investasi. Regulasi produk reksadana terproteksi (yang selanjutnya akan penulis singkat dengan RDT) sudah diatur oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan salah satu hal yang menarik bagi investor terkait reksadana ini adalah bahwa RDT akan memproteksi seratus persen nilai pokok investasi pada saat jatuh tempo dengan jangka waktu investasi yang sudah ditentukan pada saat penawaran. Bila dilihat dari penempatan portofolio investasi, RDT pada dasarnya hampir sama dengan reksadana pendapatan tetap, yaitu menempatkan sebagian besar portofolio investasinya pada instrumen surat utang. Perbedaan antara RDT dan reksadana pendapatan tetap hanya terletak pada cara pengelolaannya. Manager Investasi yang mengelola RDT membeli surat utang dan menahannya hingga jatuh tempo (hold to maturity), sementara reksadana pendapatan tetap dikelola secara aktif dan jika diperlukan bisa saja dilakukan proses jual beli (trading). Karena mekanisme pengelolaan dengan cara membeli surat utang dan memegangnya hingga jatuh tempo, maka proteksi terhadap nilai investasi awal dapat dilakukan. Dalam jangka waktu tertentu (secara regular) dan telah disebutkan pada awal penawaran, RDT juga melakukan pembagian hasil investasi dalam bentuk dividen.