Oleh: Rossa Tiara Kartika, Chikuita Felda Idelia, Venny Kafiar
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang
Wewenang dalam organisasi bukan sekadar hak untuk mengambil keputusan, melainkan juga tanggung jawab besar yang melekat pada setiap pemegang jabatan.
Dalam dunia pemerintahan maupun dalam badan usaha milik negara seperti pertamina, wewenang sering kali menjadi alat utama untuk menjalankan roda organisasi dari tahap perencanaan hingga implementasi kebijakan.
Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa semakin besar suatu wewenang, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya jika tidak diimbangi dengan prinsip transparansi dan pengawasan yang efektif.
Kasus yang menyeret jajaran direksi pertamina dalam dugaan korupsi besar-besaran adalah contoh nyata bagaimana sebuah kewenangan yang tidak disertai kontrol dan keterbukaan dapat berubah menjadi ancaman serius bagi keuangan negara dan kepercayaan publik.
Direksi perusahaan tersebut, yang memiliki kuasa penuh atas proses pengadaan minyak mentah mulai dari negosiasi harga, pemilihan mitra usaha, hingga penandatanganan kontrakternyata justru menggunakan kekuasaannya secara tidak bertanggung jawab.
Bukannya memastikan pengadaan yang efisien dan berkualitas, malah terjadi praktik manipulatif yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Salah satu modus yang diungkap dalam kasus ini adalah pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan spesifikasi lebih rendah, yakni RON 90, namun dibayar dengan harga setara BBM kualitas tinggi seperti RON 92.
Selain itu, terdapat praktik blending di depo yakni mencampur BBM berkualitas rendah untuk disesuaikan dengan standar BBM yang akan dijual ke masyarakat.
Praktik ini tentu saja sangat merugikan konsumen yang seharusnya mendapatkan BBM berkualitas sesuai harga yang dibayarkan.
Lebih dari itu, ini juga menandakan adanya sistem yang secara sadar dibentuk untuk menutupi manipulasi dalam pengadaan dan distribusi energi.
Yang menjadi sorotan utama dalam kasus ini bukan hanya tindakan korupsi itu sendiri, tetapi juga kurangnya transparansi dalam sistem kerja internal perusahaan.