Sebab, dalam pertimbangannya, meski meminta menjamin hak semua partai, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional. Tujuannya, tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.
’’Tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu antara pemerintah dan DPR,’’ imbuhnya.
Semangat jajarannya dalam revisi UU Pemilu adalah memperkuat dukungan politik yang kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Karena itu, rekayasa konstitusional tetap diperlukan. Misalnya, dengan mengatur mekanisme kerja sama partai tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon.
Rekayasa juga dapat dilakukan dengan mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden agar memenuhi aspek kepemimpinan dan pengalaman dalam peran publik. Juga, pengetahuannya tentang kenegaraan serta rekam jejak integritas.
Pengujian syarat aspek-aspek yang bersifat kualitatif, misalnya, dapat dilakukan unsur dari perwakilan lembaga-lembaga negara atau perwakilan tokoh masyarakat. ’’Sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU,’’ ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Indrajaya juga menilai putusan MK sebagai langkah maju. Dengan dihapusnya PT, kata Indra, setiap partai punya hak untuk mengusung calon sendiri.
Meski demikian, dia sepakat tetap harus ada ketentuan yang membatasi calon presiden dan wakil presiden. Misalnya, syarat pendirian parpol harus lebih ketat.
”Bisa juga misalnya ada konvensi internal atau antarpartai,” terang Indra.
Syarat lain yang mungkin bisa dibuat, capres atau cawapres harus berasal dari kader parpol dan pernah menjadi pejabat negara. Misalnya, pernah menjadi anggota DPR RI, gubernur, menteri, atau pernah memimpin partai politik.
Indra menyebutkan, ada beberapa negara yang pilpresnya tanpa PT. Rata-rata adalah negara yang menganut sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Brasil, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Kirgistan.