Pelaku berupaya mendapatkan kepercayaan. Semakin dekat, semakin dalam. Tahap selanjutnya mengirim foto atau video seksi. Kemudian merayu korban untuk melakukan hal yang sama.
Itu pula yang dilakukan komplotan Surabaya dengan korban semuanya warga negara asing. Dalam prosesnya, mereka diajak panggilan video mesum dan direkam. ’’Nah, rekaman itu dijadikan alat memeras,’’ ucap Aris.
Kalau para napi di Lapas Jelekong enam tahun silam membujuk para korban mengirimkan uang ke nomor rekening yang telah disiapkan, yang kemudian dicairkan oleh kaki tangan mereka di luar, pola para love scammer yang terungkap belakangan lebih beragam.
Komplotan Taman Anggrek menggunakan kedok investasi untuk menipu para korban. ”Mereka membuat sebuah situs toko online, pelaku mengarahkan untuk deposito senilai Rp 20 juta,” jelasnya
Para pelaku warga Indonesia di komplotan hanya berbekal aplikasi penerjemah untuk melakukan komunikasi dengan para korban warga asing.
Para korban berasal dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Jerman, Filipina, Kanada, Inggris, Italia, dan Rumania. Sedangkan korban warga Indonesia hanya satu orang. Bisa dibayangkan kecanggihan skill komunikasi mereka.
Adapun komplotan Surabaya, selain rayuan asmara, penipuan mereka juga dilakukan dengan menawarkan elektronik murah. Caranya, mengirim pesan penawaran ke sejumlah akun media sosial.
Setiap pemilik akun yang tertarik membeli kemudian dicatat. Data tersebut diserahkan ke bosnya. ’’Intinya, korban akan diminta membayar. Tetapi, barang tidak dikirim,’’ papar Aris.
Modus lainnya, tambah Aris, komplotan itu menyaru sebagai anggota lembaga antikorupsi di Tiongkok. Masing-masing menghubungi pejabat di Negeri Panda tersebut. Mereka dituduh korupsi dan diperas.
Kerugian Triliunan
Menurut David Harding, supervisory special agent unit kejahatan ekonomi FBI (Biro Penyelidikan Federal Amerika Serikat), kerugian akibat penipuan via internet besar sekali. Pada 2021 saja mencapai USD 7 miliar (sekitar Rp 106 triliun) di seluruh dunia.