Terpisah, praktisi hukum di Kotim Agung Adisetiyono mengatakan, perbuatan tindak pidana korupsi memiliki makna luas. Di antaranya, penyalahgunaan wewenang, suap, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Menurutnya, tindak pidana korupsi dalam proyek sirkuit yang sedang digali penyidik bisa suap-menyuap, gratifikasi, atau penggelapan dalam jabatan, proses lelang atau pengadaan proyek tersebut. Di sisi lain, prosedur pengadaan proyek juga dapat merugikan keuangan.
”Apabila dalam pelaksanaan, mulai dari perencanaan ada prosedur yang dilanggar, tentunya akan jadi pintu masuk untuk menjerat yang terlibat. Kesalahan prosedur bisa juga menyebabkan kerugian negara dan dijerat dengan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Ketika ditanya apabila hasil audit BPK menyatakan pelaksanaan proyek tidak ada masalah, dia mengatakan, penyidik tak serta merta bisa menghentikan pemeriksaan. Sebab, perlu ada audit khusus, sementara pemeriksaan rutin BPK biasanya hanya sekadar memeriksa laporan keuangan yang sesuai standar akuntansi pemerintah.
”Harus ada audit investigatif, di mana auditor akan merinci dan akan menemukan secara detail untuk mengungkap kerugian negara,” ujarnya.
Biasanya, kata Agung, penyidik bisa meminta auditor, dalam hal ini BPK untuk melakukan audit ulang ketika penyidik telah mendapatkan indikasi kerugian negara dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Sebelumnya, Kejari Kotim memeriksa sejumlah saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek sirkuit. Saksi yang diperiksa mulai dari pejabat di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kotim, unit layanan pengadaan (ULP), hingga kontraktor dari PT Sampaga Raya Karya Persada.
Korps Adhyaksa tersebut masih fokus pada pemeriksaan saksi untuk mengumpulkan keterangan dalam proyek yang menelan anggaran puluhan miliar itu. Masih banyak saksi yang akan dipanggil, namun dilakukan secara bertahap. (ang/ign)