’’Sambil ngesot dan berguling-guling, saya akhirnya sampai ke area yang ada belukarnya. Semak-semak. Saya berlindung di sana untuk menyelamatkan diri,’’ sambung Ridho.
Bersama Aditia Sukirno Putra dan Muhammad Arbi Muharman, dia tiba di pos terdekat sekitar pukul 16.00 WIB atau sekitar satu jam setelah letusan pertama. Ridho lantas berlindung di bawah meja-meja yang ada di pos itu. ’’Dari kami bertiga, Adit yang kondisinya paling baik. Saya memintanya segera turun dan meneruskan informasi bahwa saya dan Arbi masih di atas,’’ terangnya.
Dari pos itu, sebenarnya Ridho sudah berusaha menghubungi keluarganya. Namun, handphone-nya ternyata terserempet batu panas dan tak bisa digunakan.
Bersama Arbi di pos tersebut, Ridho mengingat kembali upayanya untuk menyelamatkan diri. Sepanjang rute, dia melihat beberapa pendaki lain tergeletak. Ada juga yang minta tolong. ’’Sebenarnya ada keinginan menolong pendaki lain, tapi kondisinya begitulah,’’ ucapnya lirih.
Di pos itu, dia juga bertemu pendaki lain yang selamat. Setelah memberikan bekalnya dan sleeping bag yang dia bawa, pendaki itu memotret kondisi Ridho dan Arbi, lantas meneruskannya ke pos paling bawah. Ridho dan Arbi tertahan di pos itu hingga hari berikutnya. Mereka baru dievakuasi pada Senin (4/12) pukul 12.00 WIB. ’’Setahu saya, yang datang adalah masyarakat dan tim gabungan. Saya sangat berterima kasih kepada mereka semua,’’ katanya.
Ridho meninggalkan rumah sakit pada Jumat (8/12) malam. Sementara Adit sudah pulang ke Pekanbaru, Arbi masih harus dirawat di RSAM Bukittinggi. Empat teman Ridho lainnya, yang sama-sama berangkat dari Pos Batu Palano, meninggal dalam erupsi tersebut. Mereka adalah Nazatra Atzin Mufadhal, M. Wilky Saputra, Ilham Nanda Bintang, dan M. Adnan. (*/c18/hep)