NANGA BULIK, radarsampit.com – Slamet Hartono akhirnya melawan. Dia menggugat sejumlah pihak yang telah berupaya menghilangkan hak miliknya berupa lahan transmigrasi seluas 1 hektare. Pihak yang digugat adalah PT Gemareksa Mekarsari, PT Satria Hupasarana, dan turut tergugat Pemerintah Republik Indonesia Cq BPN, serta Bupati Lamandau.
Sidang gugatan perdata tersebut mulai bergulir di Pengadilan Negeri Nanga Bulik, kemarin (20/7). Agenda sidang yakni pemeriksaan kehadiran para pihak dan penetapan mediasi para pihak.
Dalam sidang, pihak penggugat diwakili oleh tiga kuasa hukum. Sedangkan tergugat 1 dan 2 diwakili oleh satu kuasa hukum. Sedangkan turut tergugat yakni BPN dan Pemkab Lamandau tidak ada yang hadir.
Agenda dilanjutkan dengan mediasi yang difasilitasi Pengadilan Negeri Nanga Bulik. Sidang ditunda sampai ada laporan hasil mediasi.
Saat dikonfirmasi usai sidang, Slamet mengaku ikut transmigrasi sejak tahun 1994. Saat itu Lamandau masih masuk wilayah Kotawaringin Barat. Warga transmigran mendapat jatah rumah, lahan pekarangan, dan lahan usaha atau LU 2 seluas 1 hektare.
“Saya dapat jatah lahan LU 2 transmigrasi, seluas 1 hektare yang sertifikatnya terbit pada tahun 1998. Lalu sekitar tahun 2000-an datang perusahaan perkebunan kelapa sawit. Awalnya kami dijanjikan plasma oleh PT Indahsana hupasarana,” ungkapnya.
Ternyata janji plasma tersebut tidak ditepati dan lahan milik warga transmigrasi justru diakui sebagai lahan inti berdasarkan HGU yang diterbitkan pemerintah pada tahun 2005. Sejak saat itu upaya masyarakat untuk mengambil kembali haknya terkendala.
Melalui kuasa hukum Parlin B Hutabarat, pihaknya berharap agar hakim dapat mengabulkan gugatan mereka dan menyatakan kliennya sebagai pemilik dan pemegang hak yang sah atas lahan yang dahulu terletak di Desa Bukit Raya Kecamatan Bulik, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, dan sekarang terletak di Desa Bukit Raya, Kecamatan Menthobi Raya, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, seluas 10.000 M2 sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 303 Tahun 1998 dan Surat Ukur Nomor 303 Tanggal 2 Januari 1998. Dia menggugat para tergugat membayar ganti rugi materil sebesar Rp 690 juta dan immateril sebesar Rp 10 miliar.