Pilkada Serentak Momentum Pilih Pemimpin yang Perjuangkan Masyarakat

ilustrasi pilkada
Ilustrasi Pilkada

SAMPIT, radarsampit.com – Pemilihan kepala daerah tahun 2024 dinilai sebagai momentum untuk mencari sosok pemimpin yang pro pada kepentingan masyarakat. Figur tersebut harus bisa berjuang untuk kepentingan masyarakatnya dalam berbagai bidang.

”Ke depannya perlu sosok kepala daerah yang pro kepada pendidikan melalui program beasiswa kepada penduduk lokal. Bukan hanya S1, tetapi sampai S3,” kata Abdul Hadi, aktivis mahasiswa di Sampit, Minggu (14/4/2024).

Bacaan Lainnya

Kendari Pemkab Kotim saat ini telah memprogramkan beasiswa untuk pelajar sampai mahasiswa, menurutnya hal itu hanya sampai jenjang S1.

”Karena kita perlu perkuat SDM lokal untuk membangun daerah. Bagaimanapun warga yang dibiayai daerah akan punya beban, ketika lulus nanti kembali ke daerahnya untuk berkarya,” katanya.

Warga lainnya dari Antang Kalang, Mardinata, mengatakan, sosok kepala daerah ke depannya harus punya misi untuk membangun Kotim dari pelosok. Selama ini pembangunan memang terpusat di wilayah perkotaan, sehingga seolah melupakan wilayah perdesaan. Terutama soal infrastruktur jalan.

Baca Juga :  Irwansyah Kembali Bangkit setelah Dituduh Jadi Pengedar Sabu

”Kami di pedalaman merindukan bagaimana akses darat nyaman, bukan lagi jalan yang hancur lebur saat musim hujan,” ujarnya.

Dia melanjutkan, apabila akses jalan hancur, maka segala sesuatunya akan terdampak. Bahkan, penduduk yang sakit ketika mau dirujuk ke fasilitas kesehatab pun kerap mengurungkan niatnya ketika melintas di jalan yang rusak.

”Yang pastinya, ke depan ini kami mau ada kontrak politik. Bahkan kalau perlu di depan notaris untuk calon yang berani membangun akses jalan di pelosok,” ujarnya.

Berkaca dari kemampuan APBD, lanjutnya. sampai kapan pun persoalan di pelosok akan tertinggal jika alasannya itu. ”Makanya kami perlu sosok yang berani, tegas, dan punya gagasan keberpihakan untuk wilayah pelosok,” katanya.

Politikus Kotim Reno mengatakan, pilkada tentunya tidak sama dengan pemilihan legislatif, yang mana pragmatisme pemilih di atas 95 persen.

”Karena di pilkada ini tidak hanya uang yang diperlukan, tetapi bagaimana caranya agar masyarakat ini bisa digaet melalui program. Program itu adalah kebutuhan nyata dari masyarakat. Jadi, tidak melulu menggunakan uang untuk mengarahkan masyarakat,” ujarnya.



Pos terkait