”Ini merupakan hak politik individu saya untuk selanjutnya menentukan arah politik dan saya bergabungnya ke PDI Perjuangan. Ini harus saya sampaikan ke publik supaya warnanya kini jelas, tidak sembunyi-sembunyi,” tegas Yeni yang sebelumnya menjabat Bendahara di DPD Demokrat Kalteng ini.
Yeni menuturkan, selama bergabung di Demokrat, dirinya banyak mendapat pembelajaran. Hal itu akan menjadi modal agar menjadi politikus mumpuni dan berkarakter.
”Terima kasih juga kepada Partai Demokrat yang sebelumnya sudah memberikan ruang bagi kami, anak muda, untuk berkarier dalam dunia politik dan saya akui itu sebagai sesuatu yang berharga bagi saya,” katanya.
Sebelum jajaran kader Demokrat yang ramai-ramai undur diri, ada nama Rambat, politikus PKB Kotim yang duduk sebagai anggota DPRD Kotim aktif, hengkang ke Gerindra. Kepindahan itu disinyalir karena mengikuti istri dan anaknya yang lebih dulu bergabung di partai tersebut.
Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, pernah mengatakan, fenomena politikus kutu loncat menjelang pemilut bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, gagalnya kaderisasi yang dilakukan partai politik. Parpol hanya bekerja sebatas rekrutmen, tak membuat kaderisasi yang berujung minimnya keterikatan parpol.
Selain itu, juga disebabkan keputusan parpol kerap tak demokratis dalam mencalonkan seseorang. Parpol kerap lebih memilih mengusung berdasarkan hasil survei ketimbang melihat kinerja kader di tubuh internal. Akibatnya, muncul kekecewaan terhadap partai, karena mekanisme yang sering dianggap tak demokratis.
Menurut Yunarto, jalan tempuh paling singkat yang kerap diambil partai adalah politik outsourcing. Hal itu sering terjadi ketika pragmatisme kader bertemu partai. Jika sudah demikian, partai politik hanya menjadi sekumpulan orang dengan kepentingan dan waktu yang sama. (ang/ign)