”Sebaiknya memang bisa komunikasikan ke kami. Ya, bahasanya kita saling mediasi untuk menjelaskan apa saja yang terjadi. Nanti data bisa disampaikan,” ujarnya.
Seperti diberitakan, dugaan malapraktik menyeruak dalam penanganan terhadap seorang bayi yang akhirnya meninggal dunia di RSUD Doris Sylvanus. Diagnosa terhadap pasien berubah-ubah.
Afner Juliwarno, ayah bayi tersebut mengungkapkan, kejadian bermula saat dia membawa istrinya ke Rumah Sakit Muhammadiyah Palangka Raya untuk melahirkan pada 9 Januari.
Saat lahir, bayinya dalam kondisi kurang baik karena sulit buang air besar, sehingga harus dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus pada tanggal 12 Januari.
Setelah tiga hari di RSUD Doris Sylvanus, lanjutnya, rumah sakit menyarankan untuk tindakan operasi. Keluarga Afner menyetujui langkah yang diambil dan bersedia menandatangani persetujuan.
”Kami dari pihak keluarga setuju operasi dan tanda tangan, karena mereka di rumah sakit bilang cuma operasi inilah jalan satu-satunya untuk penyelamatan anak kami,” katanya, Kamis (1/2/2024).
Sebagai orang awam, Afner mengaku mempertanyakan apakah boleh dilakukan operasi pada bayi yang masih berusia beberapa minggu. Namun, karena rumah sakit menyatakan tidak ada cara lain selain operasi tersebut, mau tidak mau pihak keluarga mengikuti.
”Jadi, anak saya itu dibedah perutnya untuk menyambung usus karena diagnosanya bermasalah di situ. Tapi, entah bagaimana penanganannya sampai anak saya meninggal,” ucapnya.
Lebih lanjut Afner mengatakan, pihak keluarga mulai heran dan merasakan keganjilan karena diagnosa awal dan pascaoperasi berbeda. Sebelum operasi, anaknya didiagnosis menderita Megacolon Congenital (kondisi usus besar menyebabkan kesulitan mengeluarkan tinja).
Namun, setelah operasi, diagnosanya berubah menjadi Atresia Ani (salah satu jenis cacat atau kelainan yang terjadi sejak lahir. Kondisi ini menunjukkan perkembangan janin mengalami gangguan sehingga bentuk rektum/bagian akhir usus besar sampai lubang anus umumnya tidak terbentuk dengan sempurna).