SAMPIT – Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur, Rimbun mengakui pemasukan daerah dari sektor usaha perkebunan bisa dikatakan minim.
Pasalnya, pemerintah daerah hanya dizinkan memungut retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) di perkebunan. Sementara untuk sektor pajak dan sejenisnya dipungut pemerintah pusat.
Maka dari itu, harusnya pemerintah daerah membicarakan agar adanya keadilan untuk daerah.
“Kalau dipikir-pikir, usaha dari sektor perkebunan minim sumbangan untuk pendapatan ke daerah. Dana mereka masuk ke pemerintah pusat,“ kata Rimbun.
Anggota dewan yang duduk di komisi membidangi urusan keuangan daerah ini menambahkan, tentunya ini merupakan bentuk ketidakadilan dari pemerintah pusat di sektor perkebunan kelapa sawit.
Dia mengaku yang jadi biang persoalan ini terletak di UU Nomor : 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah dan UU Nomor : 18 tahun 2004 tentang perkebunan.
Sumber DBH menurut UU Nomor : 33 tahun 2004 yaitu beraasal dari sektor kehutanan, pertambangan, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi.
“Kotim tidak menerima keuntungan bagi hasil tersebut. Pemerintah pusat berdalih, DBH hanya untuk komoditas yang tidak terbarukan. Sedangkan kelapa sawit bisa ditanam kembali dan tumbuhnya ditanam oleh manusia.
Sejatinya, kata dia aturan itu mesti direvisi prinsip dan rasa keadilan sebagai daerah penghasil itu diabaikan, hutan dan dampak lingkungan yang diterima oleh kita daerah ini tidak sebanding dengan dana dari pemerintah pusat.
Jutaan ton sudah dihasilkan dari sumber daya alam Kalteng, khususnya Kotim, tetapi pemerintah daerah tidak pernah mendapatkan dana bagi hasil sektor itu.
Selama ini, pendapatan daerah dari sektor perkebunan kelapa sawit diperoleh dari sektor pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan dan pendapatan lainnya yang bukan dari produk kelapa sawit dan produk turunannya.
Setiap bulan, kata dia, dari luasan perkebunan yang sekitar 600 ribuan hektare ini tidak kurang dari 200 ribu ton minyak mentah sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dibawa keluar dari Kotim, namun daerah hanya bisa melihat hasil alamnya diangkut keluar daerah, sementara alam dan ekosistemnya sudah dirusak akibat pembukaan lahan secara besar-besaran.