Tuai Banyak Protes, Kenaikan Pajak Hiburan Akhirnya Ditunda

pajak hiburan
TUNGGU HASIL JUDICIAL REVIEW: Sempat mendapat protes dari para pengusaha, pemerintah memutuskan menunda penerapan PBJT. (Istimewa/Radar Sampit)

SURABAYA, radarsampit.com – Pemerintah akan menunda penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen setelah sebelumnya menetapkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), dan baru mulai berlaku pada 2024.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan menunda penerapan PBJT jasa hiburan sebesar 40-75 persen.

Bacaan Lainnya

Luhut mengatakan, pihaknya sudah mengumpulkan beberapa instansi terkait untuk membahas isu kenaikan pajak tempat hiburan tersebut.

Luhut mengatakan, kebijakan tersebut tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga Komisi XI DPR RI. Karenanya, ia memutuskan aturan tersebut dievaluasi.

“Kemudian juga ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), saya pikir itu harus kita pertimbangkan,” tegasnya.

Baca Juga :  Warga Bawa Parang Bubarkan Balap Liar, Polisi Gencarkan Patroli

Kebijakan tersebut menuai berbagai pendapat, termasuk dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur.

Menurutnya penundaan pajak adalah kabar baik bagi pengusaha di bidang tersebut. Akan tetapi tetap perlu menjadi perhatian.

“Ditunda atau tidak, yang pasti akan ditetapkan. Bahkan di sejumlah daerah sudah ada yang memberlakukan ini, yang saya tahu ada yang menerapkan 50 persen. Tentu ini sangat berat,” ujar Ketua PHRI Jatim Dwi Cahyono kepada Radar Surabaya, Jumat (19/1/2024).

Dwi mengatakan, seharusnya sebelum menetapkan kebijakan, ada sosialisasi kapada pelaku usaha terlebih dulu.

“Karena semuanya harus kita hitung, termasuk pajak dan dampaknya. Kalau pajak naik otomatis pelaku usaha akan menaikkan harga. Pelaku usaha seneng-seneng saja kalau harga naik,” paparnya.

“Tapi masalahnya di lapangan yang berat, banyak pelanggan yang enggan dan akhirnya usaha ini jadi sepi. Tapi kalau pajak naik, harga dari kita masih tetap, ya kita yang rugi,” imbuhnya.

Lebih lanjut Dwi menuturkan, pemerintah berencana membebankan kenaikan pajak kepada konsumen.

Baca Juga :  Sebulan Nikah Sudah Ngajak Pisah karena ‘Senjata’ Tak Bisa Berdiri

Namun hal ini menurutnya dapat menyebabkan pengusaha kehilangan pelanggan jika harga produk atau layanan menjadi terlalu tinggi.



Pos terkait