Aktivis Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Kotim Arsusanto mendesak aparat penegak hukum tak membiarkan aktivitas itu bebas merambah hutan. Apalagi menggunakan alat berat.
”Jangan sampai hukum terkesan tebang pilih. Siapa pun pemilik dan pengelolanya harus diproses hukum kalau memang ada indikasi ilegal,” tegasnya.
Arsusanto menuturkan, kewenangan pertambangan saat ini memang sudah beralih dari pemerintah provinsi ke pusat setelah adanya revisi UU Minerba. ”UU Minerba yang baru menyatakan semua perizinan dilimpahkan ke pusat,” ujar Arsusanto.
Menurut Arusanto, penambangan ilegal menjadi perhatian khusus Presiden RI Joko Widodo. Presiden menyatakan perang terhadap aktivitas penambangan yang tidak mematuhi aturan. Apalagi sejumlah daerah di Indonesia dilanda bencana banjir, yang sebagian besar disebabkan kerusakan lingkungan akibat penambangan liar.
Dia menegaskan, pelaku penambang ilegal bisa dijerat secara pidana. Di antaranya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba Pasal 158. Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin bisa dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Kemudian, pada Pasal 105, penjualan mineral yang tergali dikenai iuran produksi atau pajak daerah sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam Pasal 161 (b), setiap orang yang memiliki izin pertambangan dan tidak melaksanakan reklamasi pascatambang dan penempatan dana jaminan reklamasi, bisa dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Sebelumnya diberitakan, aktivitas galian C yang diduga ilegal di Desa Bukit Raya menghancurkan sebagian areal hutan di wilayah itu. Penambangan tanah latrit (tanah merah) yang tidak jauh dari permukiman penduduk dan jalan lintas provinsi itu disebut-sebut sudah berlangsung lama, namun tidak pernah tersentuh operasi penertiban.
Informasi yang diperoleh Radar Sampit, ribuan kubik tanah dikeruk dan diangkut keluar dari daerah itu setiap hari. Aktivitas tersebut dilakukan di dalam areal hutan yang memiliki diameter kayu pohon sekitar 20-30 sentimeter.