Walhi Kalteng menilai, rendahnya realisasi plasma jadi pemicu konflik dengan masyarakat lokal. Ada beberapa kasus yang terjadi menuntut plasma 20 persen, namun pihak perusahaan sebagian bersedia membangun kebun plasma dengan syarat, masyarakat disuruh menyediakan lahan sendiri untuk dijadikan areal plasma. Di sisi lain, tak mudah mencari lahan untuk plasma tersebut.
Selain itu, kelompok masyarakat yang hidup di sekitar PBS justru banyak tidak terakomodir plasma. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang tak tinggal di sekitar perkebunan justru mendapatkan plasma. (ang/ign)