Pihaknya tidak akan tinggal diam jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap masyarakat. Apalagi terkait persoalan hak milik dan hak nenek moyang. Apa pun akan dilakukan untuk mempertahankannya.
”Saya warga negara indonesia, lebih 60 tahun berdomisili di lokasi ini. Tiba-tiba verklaring dicabut BPN Kota Palangka Raya. Pencabutan harus melalui prosedur hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Palangka Raya membantah tudingan masyarakat terkait dugaan permainan mafia tanah dalam konflik lahan di wilayah itu. Instansi itu menegaskan, telah sesuai prosedur dalam penerbitan sertifikat.
”Penerbitan sertifikat sudah melalui berbagai proses, berupa pengukuran, pemeriksaan tanah, sampai menerbitkan SK pembelian tanah hingga akhirnya terbit sertifikat. Kami memproses sesuai dokumen yang diserahkan,” tegas Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Kota Palangka Raya Budhy Sutrisno, Senin (1/3).
Menurut Budhy, meski telah memproses sesuai prosedur, apabila dalam dokumen pengajuan sertifikat yang diajukan warga ada dugaan palsu, hal tersebut bukan wewenang pihaknya. Dia juga menegaskan, penerbitan sertifikat tak mungkin salah lokasi karena sudah melalui berbagai tahapan. Di sisi lain, sertifikat tak bisa diterbitkan di kawasan hutan, kecuali melalui pelepasan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Jadi, tidak mungkin BPN mengukur di Jalan Arwana, tetapi terbitnya di jalan lain. Tidak mungkin itu. Tetapi, yang pasti kawasan hutan memang tak boleh ada sertifikat,” tegasnya.
Mengenai penerbitan sebanyak 150 sertifikat di Jalan Hiu Putih dan Banteng, Budhy menuturkan, sertifikat diterbitkan sesuai prosedur, termasuk melibatkan lurah dan lainnya. ”Jadi, semua sudah sesuai,” tegasnya. (daq/ign)