Harga Sawit Melorot Setelah Keran Ekspor CPO Dibuka

panen sawit
PANEN SAWIT: Petani sawit di Kotawaringin Barat saat memanen hasil kebunnya belum lama ini. (ISTIMEWA/RADAR PANGKALAN BUN)

PANGKALAN BUN – Harga tandan buah segar kelapa sawit tak kunjung membaik setelah pembukaan kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan, harga sawit saat ini cenderung melorot.

Harga per kilogram TBS buah kelapa sawit dirasakan mencekik para petani sawit. Pasalnya hasil panen yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya operasional termasuk untuk perawatan kebun.

Bacaan Lainnya

Tentu saja hal itu menjadi pertanyaan besar di kalangan petani, sementara kebijakan larangan ekspor sawit sudah dicabut, namun kondisi tidak juga membaik.

Petani Sawit di Kota Pangkalan Bun, Sutrisno menyampaikan bahwa sebelumnya harga sawit setelah diterapkan larangan ekspor CPO bertahan dikisaran Rp1700 perkilogramnya, namun saat ini di tingkat petani hanya Rp1300 perkilogram, bahkan di pengepul hanya dihargai Rp1000 perkilogramnya.

“Ini ada apa? Harusnya harga TBS bisa membaik setelah dibukanya keran ekspor CPO, ini malah menurun terus,” ungkapnya, Senin (6/6).

Baca Juga :  Kalteng Tunggu Hasil Indentifikasi Satgas Terkait Aksi Sawit Berkelanjutan

Ia mengeluhkan dengan harga saat ini membuat petani sawit tertekan, lantaran biaya operasional lebih tinggi, seperti untuk membayar pemanen maupun untuk pembelian pupuk.

Apalagi saat ini harga pupuk NPK justru mengalami kenaikan yang mencapai Rp600 ribu persaknya.

Diakuinya petani sawit sempat merasakan manisnya harga TBS sebelum presiden menerapkan kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya, saat itu harga sawit tembus hingga Rp3500 perkilogramnya.

Menurutnya bila harga sawit tidak juga membaik, petani seperti dirinya akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usaha kelapa sawit.

Untuk itu ia berharap agar pemerintah daerah dapat mencarikan solusi dan mencari akar permasalahan mengapa hingga saat ini harga TBS sangat sulit untuk naik kembali. Karena masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit di Kobar sangat banyak.

“Kita tidak tahu harga di PKS berapa, yang kita tahu harga beli di peron atau pengepul sangat murah, yang kita khawatirkan harga di PKS ternyata sudah tinggi, namun peron enggan menaikan harga atau justru PKS yang menurunkan harga tidak sesuai HET pemerintah, jadi harus dicari tahu,” tandasnya. (tyo/sla)



Pos terkait