Karpet Merah Predator Seksual Kampus di Kalteng

Antiklimaks Dugaan Skandal Seksual Oknum Dosen Universitas Terbesar di Bumi Tambun Bungai

dugaan asusila
DIHENTIKAN: Kasubdit Renakta Ditkrimum Polda Kalteng Kompol Yudha Patie menjelaskan penghentian kasus dugaan pelecehan seksual oknum dosen UPR. (DODI/RADAR SAMPIT)

Terkait penghentian kasus, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya Sandi Jaya Prima Saragih Simarmata mendesak agar kasus tersebut terus ditindaklanjuti meskipun kabarnya ada perdamaian antara korban dan pelaku. Koalisi Anti Kekerasan Seksual Provinsi Kalteng menyatakan sikap, kasus itu sangat mencoreng harkat serta martabat hak asasi seseorang, apalagi terjadi di institusi pendidikan tinggi.

Menurutnya, permintaan perdamaian dalam kasus itu yang diduga kuat menjadi dasar diterbitkannya SP3, merupakan tindakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi korban. Permintaan maaf tidak bisa menghapus tindak pidana seseorang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 23.

Bacaan Lainnya
Pasang Iklan

”Kami menekankan hal tersebut,” ujarnya, dalam keterangannya 5 April lalu.

Mengutip artikel yang ditulis Sulistyowati Irianto, Co-founder Mata Kuliah Gender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan judul ”Predator Seksual di Kampus” yang terbit di Harian Kompas 11 November 2021, pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus umumnya dosen pengajar, pembimbing skripsi atau disertasi, pembimbing akademik, termasuk profesor.

Baca Juga :  Belum Ada Pertanda Harati Jilid II, Peluang Pecah Kongsi Makin Menganga

Mereka memiliki kuasa amat besar terhadap mahasiswa, yakni bisa menentukan kelulusan dan berapa nilainya. Mahasiswa tersebut bisa jenjang S-1, S-2, bahkan S-3.

”Lalu apakah para pelaku ada yang dihukum atas perbuatannya? Amat jarang, bahkan yang sampai ke meja hijau hampir tidak ada. Mengapa? Karena tidak ada instrumen hukum yang mengaturnya. Secara politik, pengakuan terhadap terjadinya kekerasan seksual di kampus bisa memalukan institusi,” katanya.

Menurutnya, menyembunyikan dan membiarkan skandal itu merupakan jalan aman yang umumnya ditempuh. Para orang tua menguliahkan anaknya agar menjadi pintar, tetapi ada saja yang malah jadi korban. Ternyata kampus bukan tempat aman bagi mahasiswa. Survei Jakarta Post 2019 menunjukkan 96 persen korban mahasiswi. Predator seksual ada di setiap sudut kumpus, bersembunyi dalam selubung etika moralitas yang palsu dan hipokrit.



Pos terkait