Seharusnya, lanjut Suhartono, hasil proyek wajib melalui proses uji kelayakan. Hal itu berdasarkan Pasal 20 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2016 tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum yang menyebutkan studi kelayakan merupakan suatu studi untuk mengetahui tingkat kelayakan usulan pembangunan sistem penyediaan air minum di suatu wilayah pelayanan ditinjau dari aspek teknis teknologis, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan, dan finansial.
Adapun aspek-aspek dalam studi kelayakan yang harus diperhatikan berdasarkan poin 3 Lampiran V Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2016 tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum salah satunya yaitu aspek risiko dan mitigasi. Pengkajian aspek alokasi risiko dan mitigasi meliputi risiko kinerja, dan politik, dan finansial dalam rangka menjamin efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan infrastruktur.
“Dalam hal risiko kinerja perlu memperhatikan kondisi tempat yang akan dilakukan pembangunan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pihak perencana pekerjaan, dan berdasarkan keterangan pada saat akan dilaksanakan pekerjaan tersebut tidak pernah dilakukan studi kelayakan, sehingga lokasi pekerjaan berpindah tanpa alasan yang jelas. Jika memang terdapat perubahan perencanaan awal, maka seharusnya dinas teknis wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Bappeda,” tegasnya. (fzr/yit)