Masyarakat sipil berpandangan, KPK bisa menangani kasus korupsi yang melibatkan militer aktif dengan menggunakan UU KPK. Dalam Pasal 42 UU KPK disebutkan bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Untuk Kabasarnas yang berstatus penyelenggara negara, kata dia, penyidik bisa menggunakan Pasal 11 UU KPK. Pasal itu menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor. ”KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat legi generali (UU yang khusus mengesampingkan UU yang umum),” paparnya. ”Jadi, KPK tidak perlu minta maaf (kepada panglima TNI),” tutur Al Araf.
Menurut koalisi, permintaan maaf dan menyerahkan perkara dua prajurit aktif tersebut ke Puspom TNI berpotensi akan menghalangi pengungkapan kasus itu secara transparan dan akuntabel. ”Bahkan bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya (HA dan ABC),” ungkapnya.
Di sisi lain, terkait dengan kabar pengunduran diri Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen Asep Guntur, KPK belum memberikan komentar. Begitu pula Asep. Saat dikonfirmasi, Asep tidak menjawab pesan singkat yang dikirim Jawa Pos.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Asep mengundurkan diri sebagai Dirdik serta Plt deputi penindakan dan eksekusi KPK. Dalam pesan WhatsApp yang diterima Jawa Pos, pengunduran diri tersebut merupakan buntut polemik OTT di Basarnas dan hasil pertemuan KPK dengan jajaran Pom TNI pada Jumat (28/7/2023). (tyo/c14/fal)