Di Desa Dawak, korban langsung disuruh melayani tamu. Ironisnya, selama tiga hari, korban dipaksa melayani sekitar sepuluh pria. Mami Tia menetapkan tarif Rp300 ribu pada pria hidung belang apabila ingin mendapatkan jasa dari korban.
Selanjutnya, pada 13 Juni, korban diajak ke Pangkalan Bun oleh sang germo, karena ada informasi masuk bahwa di Desa Dawak akan digelar razia. Di Pangkalan Bun, Mami Tia dan korban menginap di sebuat hotel dengan kamar berbeda. Kesempatan itu digunakan korban untuk kabur dan melaporkan kasus tersebut ke Polres Kobar.
”Kami langsung bergerak cepat. Kasus TPPO ini merupakan atensi dari Mabes Polri. Tak berselang lama kami amankan Mami Tia dan tak ada perlawanan,” kata Angga.
Selain korban, ada dua perempuan lain yang juga mengalami nasib serupa dijadikan pemuas nafsu. Saat ini korban telah diamankan dan mendapat pendampingan dari psikolog. Kejadian tersebut membuat korban trauma.
Dari pemeriksaan aparat, Mami Tia mengaku baru menjalankan usahanya selama tiga bulan. Selama jangka waktu itu, dia mendapatkan keuntungan Rp30 juta. Perempuan tersebut dijerat Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 dan atau Pasal 6 huruf C UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman 15 tahun penjara.
ejadian yang menimpa korban serupa dengan kasus perdagangan orang yang diungkap Polda Kalteng pada September 2022 lalu. Dalam perkara itu, aparat mengamankan Kh (53) sebagai muncikari, perempuan asal Banyuwangi, Jawa Timur. Polisi juga mengamankan dua PSK masih di bawah umur, yakni YY (16) dan ZZ (15), serta 12 wanita penghibur lainnya.
Catatan Radar Sampit, modus yang dijalankan dalam bisnis tersebut sama seperti yang baru diungkap Polres Kobar. Korban tertarik pada lowongan pekerjaan melalui Facebook hingga akhirnya dijadikan PSK ketika tiba di Sampit. Belum setahun berjalan, terbongkarnya kasus yang sama memperlihatkan sindikat itu masih eksis. (rin/ign)