Perampasan Hutan Oleh Perkebunan di Wilayah Ini Bisa Digagalkan, Begini Caranya

hutan desa tumbang ramei
TERANCAM HILANG: Kawasan hutan di Desa Tumbang Ramei yang terancam hilang. (IST/RADAR SAMPIT)

Menurut Abadi, salah satu contoh bencana akibat ulah manusia yang sedang dirasakan sekarang adalah banjir yang melanda Kotim. Banjir separah sekarang tidak pernah terjadi sebelumnya jika dibandingkan tahun 90-an silam.

”Kalau kita semua menutup mata dengan hutan yang habis ini, siap-siap kita menerima akibatnya. Entah di masa ini  atau bisa juga di masa anak-anak kita nanti. Jangan mewariskan bencana kepada anak cucu kita karena keserakahan yang berkedok pro investasi,” tegasnya.

Bacaan Lainnya

Abadi mempertanyakan sikap oknum pejabat Pemkab Kotim yang getol memaksa warga Tumbang Ramei menyetujui penggarapan hutan adat seluas 4.000 hektare itu.

”Apa kepentingannya memaksa masyarakat di sana? Kalau begitu patut dicurigai ada kepentingan tertentu oknum itu, sehingga mengintervensi masyarakat yang sudah hidup di sana turun temurun,” katanya.

Lebih lanjut Abadi mengatakan, perluasan lahan perkebunan yang mengancam hutan tersebut bisa dilaporkan ke pemerintah pusat, yakni Kementerian ATR-BPN, Menteri Pertanian, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu, lahan masyarakat bisa diselamatkan dari oknum yang sengaja ingin merampasnya.

Baca Juga :  Menuju Desa UHC melalui Program Pesiar

”Apalagi Kementerian ATR-BPN sekarang lagi ramainya perang terhadap mafia tanah. Berantas mafia tanah ribuan hektare di Kotim ini,” ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, upaya jahat untuk membabat hutan disinyalir terjadi di wilayah Desa Tumbang Ramei, Kecamatan Antang Kalang. Kawasan hutan seluas sekitar 4.000 hektare terancam hilang. Pemerintah menerbitkan izin usaha perkebunan di areal tersebut.

Desa Tumbang Ramei terletak di ujung wilayah Kotim. Hutan yang disebut-sebut akan dibabat, jadi tempat warga bergantung hidup dengan alam. Perambahan untuk perkebunan hanya akan menyisakan nestapa bagi warga setempat dan mewariskan bencana bagi generasi selanjutnya.

Kepala desa, BPD, dan masyarakat kompak menolak praktik tersebut. Warga bersikukuh mempertahankan hutan dan tak ingin memperjualbelikan lahan yang jadi terakhir mereka di desa itu.

Sebagai bentuk protes, warga setempat menyurati Bupati Kotim Halikinnor. Mereka menolak izin baru PT Bintang Sakti Lenggana (BSL) di wilayah desa tersebut. (ang/ign)



Pos terkait