Akhirnya, isu lingkungan terus terabaikan. Padahal, Bumi Tambun Bungai yang kita tahu merupakan salah satu daerah kerawanan iklim, hingga yang terbaru adalah bencana asap dan rumah satwa yang dilindungi.
Seberapa banyak yang peduli? Bahkan, masyarakat sendiri sampaikah pemikirannya tentang izin tambang, perkebunan kelapa sawit, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kehidupannya?
Sampai kapan elite politik yang kita pilih hanya memikirkan perutnya dengan memanfaatkan tingkat literasi warganya yang rendah dalam mendeteksi isu-isu lingkungan?
Bencana banjir kiriman dari hulu itu dari mana? Dari rusaknya ekosistem di hulu karena izin-izin yang diberikan dan tidak dipantau lebih lanjut. Mau berapa tahun lagi akan terus berlanjut?
Sudah saatnya refleksi dan mengkritisi hal yang benar-benar nyata terjadi. Agar kepala daerah yang lahir dari rakyat akan menjadikannya sebagai menu utama dalam pembangunannya.
Satu lagi yang patut digarisbawahi, apakah ada calon kepala daerah dalam misinya yang punya inovasi dalam peningkatan literasi masyarakat? Padahal, ini sangat penting mengubah pola pikir. Apakah hal ini untuk menutupi kepentingannya agak tidak tercium oleh masyarakat?
Selalu terbuai dalam pencitraan. Keminiman literasi kita membuat kita begitu mudah menikmati isu yang digoreng sedemikian rupa. Padahal, di dalamnya ada MSG atau gula yang menggerogoti fisik secara perlahan.
Ketidakpekaan terhadap isu lingkungan dalam pilkada ini rawan melahirkan ”The Slow Killer”. )* Wartawan Radar Sampit di Kuala Kapuas