Membangun Madura yang Responsif: Kepemimpinan Adaptif dalam Tantangan Zaman

Agung Nur Wibowo, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Agung Nur Wibowo, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Di tengah perubahan global yang makin kompleks, kebutuhan kepemimpinan adaptif menjadi kepastian, terutama bagi daerah yang memiliki tantangan dan potensi khas seperti Madura.

Pulau yang meliputi empat kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep masih menghadapi tantangan yang struktural, seperti minimnya infrastruktur, kekurangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta kurangnya lapangan kerja yang memadai bagi generasi muda. Madura bukanlah pulau yang miskin sumber daya.

Fakta lautnya kaya ikan, tanahnya subur untuk pertanian dan garam, masyarakatnya memiliki semangat kerja, dan budayanya penuh makna bagi kearifan lokal.

Namun, semua potensi ini belum sepenuhnya terkonversi menjadi kesejahteraan. Salah satu faktor utama yang menjadi penghambat adalah kualitas kepemimpinan di daerah.

Dalam konteks ini, kepemimpinan adaptif menjadi kebutuhan. Berbeda dari gaya kepemimpinan birokratis yang keras atau populis, kepemimpinan adaptif mengedepankan kemampuan membaca situasi, merespons secara cepat dan tepat, serta membangun kolaborasi lintas sektor.

Seorang pemimpin yang adaptif tidak sekadar memahami data dan kebijakan, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap dinamika sosial dan budaya yang berkembang di tengah masyarakatnya.

Baca Juga :  Menjemput Masa Depan Pendidikan Kotawaringin Timur: Membangun Kurikulum yang Relevan, Kontekstual, dan Visioner untuk Satu Dekade ke Depan

Tantangan utama Madura saat ini bukan sekadar rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) atau keterbatasan fiskal daerah, melainkan minimnya inovasi dan keberanian untuk keluar dari cara-cara lama yang tidak lagi relevan. Contohnya, penanganan kemiskinan di banyak wilayah Madura masih berorientasi pada bantuan sosial jangka pendek.

Padahal, potensi besar seperti ekonomi pesantren, dan industri kreatif berbasis budaya lokal masih belum tergarap serius karena kurangnya kepemimpinan yang visioner.

Kepemimpinan yang adaptif diperlukan untuk mengubah pendekatan pembangunan dari hierarkis menjadi partisipatif. metode ini menentukan masyarakat sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan, bukan hanya sebagai penerima program pemerintah. Di Pamekasan, misalnya, beberapa inisiatif menarik mulai tumbuh, seperti pelibatan komunitas santri dalam inkubasi bisnis mikro.



Pos terkait