Pria Diduga Mabuk Dibogem Massa di Sampit, Waspadai Bahaya Fenomena Hukum Rimba

pemuda sampit dikeroyok massa
DIHAKIMI MASSA: Amat terduduk di trotoar setelag dihakimi massa akibat berniat mencelakakan pengendara motor lain di Jalan MT Haryono Sampit, Rabu (1/2). (FAFAN/RADAR SAMPIT)

Tak lama setelahnya, Amat dibawa aparat Polres Kotim untuk diperiksa lebih lanjut. Informasinya, saat diinterogasi petugas dia memberikan jawaban serampangan. Amat juga mengaku minum arak. Namun, dia tak tahu alasan dia sampai dikeroyok massa. Warga Jalan Kembali itu akhirnya dipulangkan dan diminta tak mengulangi perbuatannya.

Menurut pengendara lainnya, Amat juga membuat onar di Jalan HM Arsyad. Sebelumnya nyaris menabrak seorang ibu yang mengendarai motor sambil meneriakkan sesuatu. ”Tadi dia juga ada di Jalan HM Arsyad. Gayanya sambil nantangin orang berkelahi,” kata seorang warga.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, mengutip penjelasan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di website perguruan tinggi tersebut, Agnes Nauli Shirley W Sianipar mengatakan, aksi main hakim sendiri terkait dua fenomena psikologis yang disebut abuse of power dan bystander effect.

Dalam teori abuse of power, setiap orang punya kecenderungan alamiah untuk mencari dominasi atau kuasa atas orang lain. Kecenderungan ini memanisfestasikan bentuk sosialnya lewat kelompok sosial. Berada dalam kelompok memberikan ilusi kuat atau berkuasa. Kekuasaan sangat erat kaitannya dengan faktor emosional dominasi.

Baca Juga :  Realisasi Pendapatan APBN Lingkup KPPN Sampit Naik 97,73 Persen 

Ketika amarah muncul, secara alamiah ingin menunjukkan dominasi kepada penyebab kemarahan. Hal ini terutama terjadi ketika teritori diganggu orang asing. Dia mencontohkan pada kasus seseorang yang diteriaki maling dan dihakimi massa. Saat itulah massa tersulut amarahnya karena merasa teritorinya dilanggar, walaupun dugaan tersebut belum tentu benar.

Fenomena bystander effect juga turut berperan dalam terjadinya peristiwa main hakim sendiri. Peristiwa ini sebenarnya dapat dicegah seandainya para pengamat (bystanders) berani mengambil tanggung jawab dan berkata ”berhenti” sejak awal.

”Memang ada kecenderungan bahwa pengamat berilusi seolah-olah tanggung jawabnya sangatlah kecil, karena ia bukanlah satu-satunya pengamat yang melihat peristiwa,” ujar Agnes.

Menurutnya, seringkali bystander effect terjadi karena sikap tidak mau ikut campur, bukan urusan saya, dan lain-lain. ”Namun, hal ini dapat diatasi bila kita memilih untuk mengambil peran dan terlibat atas apa yang kita alami,” ujarnya.



Pos terkait