Nadia warga lainnya mengaku kesal dengan cara kerja penjualan elpiji di tingkat pangkalan yang seakan tak berpihak melayani masyarakat yang tidak mampu secara finansial.
”Apa gunanya pangkalan, kalau pagi barang datang, sorenya barang sudah dikatakan habis? Malamnya mengangkut pakai truk, berani jual ke orang yang mau bayar mahal ke pangkalan,” ujarnya.
Putri, warganet lainnya mengaku miris dengan pola distribusi penyaluran elpiji di tingkat pangkalan. ”Saya benar-benar kecewa dengan pangkalan elpiji di Sampit. Ibu saya dua minggu sekali saja beli elpiji susahnya minta ampun mencarinya. Saya yang disuruh beli juga ikut kerepotan. Anehnya, malam-malam ada yang bolak-balik pakai motor mengangkut, dijual lagi ke pengecer. Gimana enggak mahal harga elpiji di Sampit,” tulisnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kotim Bahalap Ervar Agam mengatakan, Pemkab Kotim sebelumnya menetapkan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat pangkalan maksimal sebesar Rp 22 ribu. Namun, ada yang mengeluhkan HET itu tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan dan biaya lainnya.
Menyikapi hal tersebut, Pemkab Kotim akan mempertimbangkan lagi untuk melakukan penyesuaian harga untuk penetapan HET terbaru. ”Ada masukan yang kami terima, HET itu tidak menutupi biaya operasional mereka (pangkalan), sehingga kami akan rencanakan penyesuaian harga lagi nanti di tahun depan untuk menetapkan HET yang terbaru,” ujarnya. (hgn/ign)