SAMPIT, radarsampit.com – Sektor rotan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menghadapi masalah besar. Semakin banyak petani yang meninggalkan budidaya rotan untuk beralih ke perkebunan kelapa sawit. Tanaman penghasil crude palm oil (CPO) itu dianggap lebih cepat memberikan hasil dan menjanjikan keuntungan lebih besar.
Salah satu pengusaha rotan yang masih bertahan, Dahlan, mengakui penurunan tajam pada industri ini sejak pemerintah melarang ekspor rotan mentah pada akhir 2011. Larangan tersebut telah melumpuhkan rantai bisnis rotan lokal yang selama ini bergantung pada pasar ekspor.
“Banyak yang menebang rotan mereka dan mengganti dengan sawit. Kami tidak bisa menyalahkan mereka karena sawit dianggap lebih menguntungkan,” ujar Dahlan kepada Radar Sampit, Sabtu (8/2).
Situasi sulit ini juga berdampak langsung pada pengusaha rotan, termasuk dirinya yang tetap mengelola kebun rotannya sendiri dan menjual hasil panen ke Cirebon. Dahlan mengungkapkan bahwa jumlah pekerjanya yang dulu mencapai lebih dari 200 orang, kini hanya tersisa sekitar 60 orang akibat penurunan permintaan.
“Rotan sering kali menumpuk dan membusuk karena tidak ada pembeli. Ini memaksa kami mengurangi tenaga kerja secara drastis,” tuturnya dengan nada prihatin.
Dahlan menilai, larangan ekspor rotan mentah menjadi penyebab utama runtuhnya sektor ini. Padahal, rotan yang dibudidayakan di Kotawaringin Timur bukan hasil hutan alami, melainkan hasil budidaya masyarakat desa yang berkontribusi besar pada ekonomi lokal.
Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dengan membuka keran ekspor secara terbatas. “Sistem kuota atau mekanisme buka-tutup ekspor bisa menjadi solusi untuk menjaga kelangsungan sektor ini tanpa mengorbankan industri lokal,” ujarnya.
Rotan, menurut Dahlan, memiliki keunggulan tersendiri. Selain mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan perawatan intensif, rotan juga memberikan manfaat lingkungan karena tumbuh merambat pada pohon-pohon, sehingga ikut menjaga hutan tetap lestari.