Dia meyakini PTN maupun PTN BH tetap memberikan ruang kesempatan dan bantuan bagi mahasiswa yang mempunyai kendala finansial.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menilai, kenaikan UKT yang melonjak tajam itu menunjukkan sistem pendidikan Indonesia yang masih menggunakan mekanisme pasar. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.
”Ini yang saya sebut neoliberalisme pendidikan. Negara kapitalis saja nggak melempar sistem pendidikan ke mekanisme pasar loh. Kita malah sebaliknya,” ungkapnya saat dihubungi kemarin.
Dia menyayangkan sikap Kemendikdbudristek yang seolah cuci tangan dengan kondisi tersebut. Padahal, negara harus bertanggung jawab atas pendidikan warganya.
Terlebih untuk keluarga yang berada di kalangan ekonomi menengah, yang disebut miskin, tapi tidak miskin-miskin banget dan kaya pun tidak.
”Ini justru yang paling dirugikan karena nggak dapat bantuan apa-apa. Imbasnya, anak yang nggak kuliah,” tuturnya.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan skema pembiayaan di universitas di luar negeri, 70 persen operasional kampus berasal dari dana riset dan 30 persen dari UKT mahasiswa.
Sementara, di Indonesia kebalikannya. Dana riset tak ada sehingga semuanya dibebankan kepada masyarakat. ”Jangan heran kalau akhirnya setiap tahun UKT naik terus. Apalagi modelnya PTN BH, itu betul-betul pemerintah melepas subsidi kampus ini dan disuruh mencari duit sendiri,” ungkapnya.
Karena itu, dia menilai pemerintah harus mengubah arah sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan tinggi harus didesain sebagai pusat riset. Sehingga, kampus bisa berkembang sesuai dengan tuntutan tanpa harus mencekik mahasiswa lewat UKT yang terlampau mahal. (wan/mia/c6/ttg/jpg)