Waspada Siasat Adu Domba Polemik Pasukan Merah, Hormati Perjanjian Tumbang Anoi

POLEMIK-PASUKAN-MERAH
Ilustrasi. (M Faisal/Radar Sampit)

PALANGKA RAYA – Polemik antara sejumlah organisasi masyarakat adat dengan Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) atau Pasukan Merah, jangan sampai menjadi ajang adu domba untuk membenturkan sesama Suku Dayak. Penyelesaian secara adat harusnya dikedepankan dengan mengingat lagi Perjanjian Tumbang Anoi 1984.

Pemerhati Adat Budaya Kalteng Darmae Nasir mengatakan, polemik atau pertentangan antara Pasukan Merah dengan sejumlah ormas malah terkesan sebagai siasat adu domba antara masyarakat Dayak yang bisa saja berujung bentrokan fisik. Masyarakat Dayak harus lebih cermat dan bijak menyikapinya dan tidak terprovokasi.

Bacaan Lainnya

”Patut diduga ini semua hanya kepentingan segelintir petinggi ormas yang mengaku peduli dengan adat budaya Dayak maupun orang-orang yang ingin memecah belah sesama masyarakat Dayak demi kepentingan lain yang bisa saja bernuansa politik maupun ekonomi, yang justru bisa saja merugikan masyarakat Dayak secara keseluruhan,” katanya kepada Radar Sampit, Senin (29/11).

Baca Juga :  Tokoh Dayak Berpengaruh Ini Akhirnya Bicara Polemik Pasukan Merah

Nasir berpandangan, polemik tersebut merupakan bentrokan kepentingan yang bukan bernuansa adat dan budaya, tapi demi kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Caranya dilakukan dengan melanggar aturan adat maupun undang-undang.

Dia melanjutkan, kepentingan elite yang ujungnya hanya ingin mengeruk sumber daya alam (SDA) di Kalteng, bisa berujung menyengsarakan masyarakat Dayak sendiri. Terutama akar rumput yang menjadi korban kepentingan elite tersebut.

”Harusnya, kalau benar itu adalah persoalan adat dan budaya, cara menyelesaikannya juga secara adat dan budaya Dayak. Bukan dengan aksi di depan masyarakat. Terlebih sampai melontarkan kalimat pengancaman atau mengeluarkan kata-kata kebencian, yang pada dasarnya sudah tidak sesuai adat dan budaya Dayak,” tegas Nasir.

Dia menambahkan, hasil Perjanjian Tumbang Anoi 1984 (lihat grafis) yang menjadi dasar hukum adat Dayak harus dihormati. Kesepakatan nenek moyang suku Dayak ratusan tahun silam itu jangan sampai dilanggar. Sebaliknya, harus jadi pijakan untuk hidup damai dengan berpegang pada falsafah huma betang.



Pos terkait