Desakan pembubaran Pasukan Merah tersebut disampaikan dalam aksi yang digelar di di Bundaran Besar Palangka Raya dan Rumah Betang Hapakat, Jumat (26/11). Unjuk rasa tersebut dijaga ketat ratusan personel kepolisian.
Dalam orasinya, Pasukan Merah dinilai tidak menghargai kearifan lokal dengan melakukan acara ritual seenaknya. Selain itu, ormas tersebut dianggap mengganggu keamanan masyarakat, karena menghadirkan massa dalam jumlah besar saat melakukan aksi, serta membawa senjata khas Kalteng; mandau, secara terhunus.
Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah didesak mengambil sikap dengan menjatuhkan sanksi adat terhadap TBBR. Mereka juga tidak mengakui Panglima Jilah sebagai Panglima Setanah Dayak Borneo, karena bukan representasi Suku Dayak Kalteng.
Merespons hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah TBBR Kalteng Agus Sanang mengatakan, penolakan dan desakan agar membubarkan Pasukan Merah telah melanggar undang-undang.
”Kelompok maupun individu yang melakukan aksi dengan tujuan membubarkan TBBR, hal itu melanggar UU tentang Hak Kebebasan Berkumpul dan Berserikat. Jika demikian, maka aksi tersebut telah melanggar konstitusi dan telah melecehkan Pancasila sebagai Dasar Negara serta UUD 1945,” ujar Agus.
Agus menegaskan, apabila ada kelompok yang sengaja mengobok-obok ormasnya, pihaknya tidak akan tinggal diam dan siap menempuh jalur hukum. Selain itu, dia berharap sikap ketidaksenangan oknum terhadap keberadaan TBBR tak lantas memperkeruh suasana.
”Apalagi pengurus TBBR dan anggotanya merupakan masyarakat Dayak Kalteng sendiri, yang terdiri dari berbagai unsur dan golongan,” tegasnya. (daq/ign)