”Nah, kala itu kami rekomendasikan lagi salah satu poinnya izin penambahan 2.350 hektare ini mesti dievaluasi Pemkab, karena masuk dalam areal desa yang sudah jelas pemilik dan penduduknya,” jelasnya.
Jhon melanjutkan, rekomendasi tersebut tidak hanya disampaikan kepada Bupati Kotim. Mereka juga bersurat kepada Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian agar memahami persoalan di Antang Kalang.
Dia juga mempertanyakan proses hingga bisa terbit HGU di areal itu. Padahal, sebelum HGU terbit tentunya ada tim yang mendata hak masyarakat di areal itu. ”Artinya ada tahapan yang tidak dilaksanakan dalam proses HGU, sehingga bisa dikatakan cacat produk,” katanya.
Persoalan itu mencuat setelah masyarakat Antang Kalang mengajukan program sertifikasi lahan mereka melalui PTSL. Namun, program itu tidak bisa dilaksanakan, karena tanah yang mereka ajukan ternyata masuk dalam HGU PT BUM.
Selain itu, warga meradang lantaran setiap kali beraktivitas di lahan, mereka selalu diintimidasi dan diancam dipidanakan di Polda Kalteng dengan dalih penyerobotan lahan.
”Padahal itu tanah kami. Tidak pernah ada orang menjual atau kami menjual atau pun menerima ganti rugi tanam tumbuh. Tapi, setiap kali kami ke kebun kami diancam-ancam pidana,” kata Diyu.
Saat ini tim dari BPN Kotim turun tangan memetakan persoalan yang mencuat tersebut. Apalagi masyarakat kini sudah melaporkan ke sejumlah lembaga tinggi negara dengan tudingan mafia tanah yang jadi perhatian Menteri ATR BPN Hadi Tjahyanto, Jaksa Agung, hingga Kapolri. (ang/ign)