Sopir berinisial B, mengaku dimintai parkir sebesar Rp 300 ribu di SPBU Jalan HM Arsyad (Bundaran KB), Rp 300 ribu di SPBU Jalan Jenderal Sudirman Km 3, dan Rp 150 ribu di Jalan Tjilik Riwut Km 8 Kotabesi.
”Saya ini untung-untungan saja. Memang tidak semua SPBU ada preman yang narik biaya parkir. Saya ngisi di sini (SPBU Jalan MT Haryono). Alhamdulillah tidak dikenakan parkir,” ucap sopir ini yang mengangkut kernel ke sejumlah kabupaten ini.
Untuk pengisian BBM penuh, truknya mampu menampung dengan kapasitas hingga 230 liter. Namun, setiap SPBU di Kota Sampit hanya membatasi 80 liter solar dan sisanya dexlite.
Harga solar per liter dikenakan Rp 5.150 dan dexlite Rp 18.150. Apabila mengisi penuh, dia harus merogoh kocek sebesar Rp 3.134.150. ”Kalau full tangki bisa pulang pergi (PP) Sampit – Kuala Kurun. Tapi, sehari saja ngantre itu dari jam 5 subuh sampai jam 2 siang baru dapat minyak. Itu pun untung-untungan. Belum tentu ngantre dapat minyak. Bisa-bisa tak kebagian,” ujar B.
Ada pula sopir yang tidak ingin ambil pusing, rela membayar ke preman asalkan mendapatkan jatah solar melebihi standar. Tarif pungli yang dikenakan terkadang ditentukan berdasarkan seberapa banyak solar yang dibutuhkan.
”Ada yang dikenakan Rp 50 ribu sampai ratusan ribu. Itu tergantung isian solarnya. Biasanya preman lihat tangki kendaraannya, dia sudah tahu. Kalau isiannya banyak, bayarannya juga banyak,” kata salah seorang sopir yang mengantre di SPBU Jalan MT Haryono.
Informasi dihimpun Radar Sampit, setiap SPBU di Kota Sampit rata-rata dalam sebulan kedatangan 3-4 kali datang pasokan solar. Setiap kali datang, dijatah 8.000 liter. Kuota ini sudah dibatasi dan mengalami penurunan dibanding beberapa tahun lalu yang dijatah 10-16 liter solar per sekali kedatangan pasokan.
Diduga kuat adanya mafia solar yang menguasai SPBU dengan sistem jaringan ‘orang dalam’. Bahkan, disebut-sebut ada keterlibatan aparat yang juga bermain. Barang subsidi seperti solar sangat diperlukan pengguna kendaraan, terutama truk angkutan berat.