GAWAT!!! Kotim Darurat Predator Seksual, Ada Ayah Bejat Cabuli Anak Tiri

ilustrasi predator seksual
Ilustrasi. (M Faisal/Radar Sampit)

”Saya minta segera bentuk tim dan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk wujudkan kota layak anak di Kotim,” ujarnya, Juli lalu.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kotim,  tren kekerasan terhadap anak di Kotim meningkat. Pada tahun 2020 sejumlah 10 kasus, 2021 18 kasus, dan sampai Juni lalu terjadi 9 kasus kekerasan terhadap anak.

Bacaan Lainnya

Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di Kotim merupakan poin penting yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, bagaimana anak seharusnya mendapatkan perlindungan dan hak anak. Halikinnor menegaskan, pemerintah akan terus berupaya dan bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat, perkumpulan, dan lainnya untuk mengatasi permasalahan tersebut secara berkelanjutan .

Dia juga meminta dinas terkait melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak-anak. Pihaknya berharap  tidak ada lagi kekerasan terhadap anak khususnya di Kotim dengan tekad bersama zero kasus kekerasan terhadap anak di Kotim.

Baca Juga :  Pilkada Seruyan Diprediksi Nihil Calon Perseorangan

Selain pemerintah, peran lingkungan keluarga juga penting mencegah kekerasan seksual anak secara dini. Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial dari RS Hermina Yogyakarta Mei Neni Sitaresmi mengatakan, anak harus diajari pendidikan seksual sesuai tahapan perkembangannya.

Dikutip dari laman Universitas Islam Indonesia, Mei menuturkan, anak harus memiliki keterbukaan kepada orang tua dan pendidik mengenai keingintahuannya. Anak yang tidak memiliki rasa terbuka, akan lebih nyaman mencari informasi di internet yang jauh lebih berisiko.

Informasi di internet kurang bisa disaring dan dipertanggungjawabkan, sehingga perlu pendampingan, khususnya oleh orang tua saat anak sedang berselancar di internet.

Menurutnya, kekerasan seksual pada anak akan menimbulkan kerugian fisik, seperti infeksi menular seksual, gangguan menstruasi, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak pada masalah mental jauh lebih kompleks, seperti depresi, kecemasan, kecenderungan bunuh diri, penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seks yang menyimpang, hingga krisis identitas gender.



Pos terkait