Lestari misalnya, sebagai pengguna elpiji melon rela merogoh kocek dengan harga lumayan mahal. Terpenting barang ada ketika dibutuhkan. ”Saya beli kadang Rp 32 ribu per tabung, kadang Rp 35 ribu per tabung. Saya itu sekarang beli gas bukan memikir mahalnya, masyarakat kita sekarang rata-rata semua sudah pakai kompor gas, kalau gas habis, enggak bisa masak, jadi berapapun harganya ya tetap dibeli,” kata Lestari.
Lestari mengaku terkadang kesulitan mencari gas elpiji, sehingga dia memilih membeli gas elpiji kemasan 5,5 kg per tabung. ”Saya senangnya ya pakai elpiji 3 kg, enak nentengnya, enggak terlalu berat. Tapi, kalau sulit nyari sana-sini ya beli gas yang ukuran tanggung,” ujarnya.
Sering kosongnya ketersediaan gas elpiji 3 kg diduga karena pengguna elpiji subsidi yang tidak tepat sasaran. Fakta di lapangan, masih banyak ditemukan pengguna gas elpiji merupakan warga mampu. Padahal, sudah jelas diperuntukkan bagi warga tidak mampu dengan penghasilan di bawah Rp 1,5 juta.
Aturan itu mengacu pada Surat Edaran Gubernur Kalteng pada 29 Desember 2017 lalu. Dalam edaran dijelaskan, penggunaan gas elpiji 3 kg harus tepat sasaran dan sesuai dengan peruntukkannya. Masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta diimbau agar tidak membeli gas elpiji subsidi 3 kg dan beralih menggunakan elpiji nonsubsidi kemasan tabung 5,5 kg atau tabung gas elpiji kemasan 12 kg.
Di sisi lain, dugaan penyalahgunaan distribusi santer terdengar. Pasalnya, masih ada pihak agen atau pangkalan yang nekat menjual keluar daerah Kotim. Untuk mengenalinya sangat mudah. Setiap tabung yang diperuntukkan untuk Kotim tutup segel berwarna merah. Apabila ditemukan tabung elpiji bersegel merah di luar Kotim, maka hal itu sudah termasuk penyelewengan distribusi yang sanksinya bisa terancam pidana.
Permainan harga gas elpiji subsidi yang dijual selangit ini pun masih sulit diawasi. Meskipun Pemkab Kotim pada 2019 lalu telah membentuk satuan petugas (satgas) pengawasan dengan melibatkan aparat hukum dan SOPD terkait.