”Bukan diperdagangkan sih bang. Tapi ini karena kemauan saya juga,” kata Kirana, mencoba meyakinkan Radar Sampit ketika ditanya dirinya menjadi korban perdagangan manusia.
Kirana menuturkan, saat ini dirinya sedang berjuang, meski kecil kemungkinan bisa memulangkan ibunya kembali ke Indonesia. Sebab, utangnya kepada pengelola bisnis esek-esek itu saat ini sudah mencapai sebesar Rp 15 juta.
”Itu utang dihitung sejak biaya perjalanan saya dari Bandung ke Sampit. Kemudian biaya kamar beserta isinya. Setiap hari kamar itu dihitung terus. Jadi, utang pun terus bertambah setiap harinya,” ujarnya.
Mengenai keluarganya yang lain, Kirana tak mau terbuka lebih jauh. Sebab, dia meyakini tidak ada satu pun keluarganya yang mempedulikannya. ”Gak ada yang peduli. Mau saya mati pun mereka gak bakal peduli dengan saya,” ujarnya mengakhiri pembicaraan malam itu.
Sementara itu, warga setempat sudah terbiasa dengan bisnis esek-esek di lokalisasi yang ditutup Pemkab Kotim pada 5 Desember 2017. Warga setempat, Y (25), menuturkan, lokalisasi itu masih beroperasi meski pernah ditutup pemerintah.
”Sudah biasa. Karena memang dari dulu sampai sekarang daerah ini jadi tempat prostitusi,” ujar Y.
Y membantah mengenai dugaan ada anak di bawah umur yang dipekerjakan di lokalisasi itu. Menurutnya, warga dan pengelola bisnis esek-esek tersebut telah menyepakati tidak melibatkan anak di bawah umur menjadi PSK.
”Kami dan warga di sini sudah sepakat dengan pengelola agar tidak ada PSK anak di bawah umur. Apabila ditemukan ada PSK anak di bawah umur, pengelolanya pun akan kami laporkan kepada pihak berwajib,” katanya.
Faktanya, Radar Sampit memperoleh informasi ada anak di bawah umur yang memang dipekerjakan melayani nafsu pria hidung belang. Untuk menyiasatinya, muncikari memalsukan kartu tanda penduduk (KTP) anak tersebut dengan menambah usianya. Korban yang terimpit ekonomi jadi mangsa segar bagi muncikari untuk menjeratnya masih dalam lingkaran bisnis haram. (tim/bersambung)